Prolog

18 6 1
                                    

"Aku janji, aku gak akan tinggalin kamu!"

















































Begitulah, katanya.

Langit gelap yang dihiasi oleh bintang-bintang, membantu sang rembulan untuk menerangi sepinya malam. Udara dingin yang terasa menusuk pada kulit itu sesekali melewati dirinya, menemani sang gadis yang sedang termenung sendiri di meja belajar yang menghadap langsung ke arah luar jendela yang sengaja ia buka. Matanya memandang lurus pada satelit alami yang memancarkan cahaya lembutnya, mengabaikan para bintang yang berada di sekitarnya, membuat kehadiran bintang-bintang itu jadi nampak sia-sia.

Pandangannya kini turun. Dengan mata yang terpejam, kedua telapak tangannya segera menutupi wajahnya yang lesu itu. Kata-kata itu terus-terusan terulang di dalam pikirannya, layaknya sebuah kaset rusak yang hanya menampilkan satu momen di antara ribuan momen yang ada di dalamnya. Bahkan ia masih bisa mengingat dengan jelas, bagaimana detail percakapannya dengan orang yang terus-terusan menghantui pikirannya itu.

Ah, ia tak suka perasaan ini.

Nafasnya jadi terasa berat, diiringi dengan isakan tangis yang mulai terdengar dari balik telapak tangan yang menutupi wajah indahnya itu. Dadanya mulai sesak, dengan rasa panas yang mulai menyebar ke seluruh tubuhnya. Air matanya mulai merembes pada sela-sela jari tangannya, ia tak bisa menahan rasa sesak dan sakit yang terus-terusan menyelimuti dirinya. Perasaan yang tertahan membuat dadanya terasa semakin nyeri, bahkan hanya untuk sekedar mengeluarkan suara pun ia tidak sanggup.

Rasa sakit ini tak bisa ia utarakan dengan kata-kata. Hanya ada air mata, dan gelapnya malam yang menjadi saksi atas semua yang ia rasakan. Mulutnya terbuka hendak mengucapkan sesuatu. Namun, tak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya. Keinginannya untuk mengeluarkan sepatah dua patah kata terhalang oleh nafasnya yang terpacu cepat. Dirinya sudah dibuat sesak lebih dulu sebelum sempat mengeluarkan suaranya. Pemandangan yang terjadi di dalam kamar itu membuat sang rembulan jadi ikut bersedih. Terlihat ada gumpalan awan gelap yang mulai menutupi terangnya cahaya malam, membuat suasana di kamarnya itu semakin terasa sesak dan dingin.

Sudah berjalan hampir tiga tahun, semenjak mereka berpisah. Teman dekat—ah, bukan. Bukan hanya sekedar teman dekat, tetapi orang yang sudah ia anggap sebagai keluarganya sendiri. Sudah berjalan tiga tahun semenjak mereka berdua berpisah tanpa alasan yang jelas. Perpisahan itu tidak meninggalkan apa pun selain meninggalkan luka transparan yang membekas pada hati gadis itu.

Mungkin terdengar sepele. Beberapa orang pasti akan berfikir, kalau dirinya ini hanyalah orang yang terlalu berlebihan, dan lebay. Dan itu adalah salah satu alasannya untuk tidak menunjukkan emosi dan mengungkapkan isi hatinya. Selain karena takut akan komentar orang-orang yang tidak bisa ia kendalikan, ia juga tidak pandai untuk mengekspresikan perasaannya, dan tidak mau orang-orang tau tentang perasaannya. Sesungguhnya, ia hanyalah gadis remaja dengan jiwa yang rapuh. Ia tak ingin orang lain mengetahui sisi lemahnya—baginya, itu adalah sebuah aib.

Dirinya saja kerepotan untuk mengerti dengan isi hatinya sendiri, apa lagi orang lain. Ia sudah terbiasa—atau lebih tepatnya, terpaksa untuk menjadi terbiasa—memendam segala yang dialaminya sendirian.

Hanya 'orang' itulah, yang bisa melepaskan dirinya dari belenggu rantai penyiksaan ini.


























































"Kak, Ella kangen ...."



You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: 2 days ago ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Biarkan Langit Yang BerbicaraWhere stories live. Discover now