Pandangannya masih kabur tapi pikirannya mulai berputar cepat. Jefril merasakan ada yang aneh dan janggal. Ketika kesadarannya sepenuhnya pulih, ia mulai menyusun ingatannya. Bagaimana ia bisa di poliklinik kampus? Seingatnya kejadian ini sudah pernah terjadi seperti sebuah dejavu yang terlalu kuat untuk diabaikan. Setelah beberapa detik berpikir keras, Jefril menyadari sesuatu yang mengejutkannya. Ia kembali ke masa lalu tepat di hari ketika ia bertemu dengan seorang gadis yang kelak menjadi kenangan pahit di hidupnya. Poliklinik, ruang debat, gadis itu... semuanya persis seperti yang ia ingat. Ia tersadar mengapa ia merasa aneh. Ini adalah hari ketika ia bertemu Kansya seorang gadis cantik yang akan menghilang dalam sebuah demonstrasi, meninggalkan luka mendalam di hatinya.
Saat ia masih tenggelam dalam pikiran, suara langkah lembut mendekati tempat tidur poliklinik di mana ia terbaring. Seketika tirai pembatas tempat tidur itu tersibak, dan di sana berdiri seorang gadis dengan almamater kampus yang rapi. Rambut hitamnya tergerai lurus dan matanya menatap Jefril dengan sedikit rasa penasaran bercampur kebingungan. Ya, itu dia Kansya.
Jefril tertegun, terdiam dalam kebingungan sekaligus takjub. Rasanya terlalu nyata begitu jelas seakan-akan ia melihat sebuah sosok dari mimpi yang lama terkubur. Pikirannya berkecamuk dengan seribu pertanyaan. Apakah ini nyata? Apakah Kansya benar-benar berdiri di depannya sekarang? Dan jika iya, apa yang harus ia katakan atau lakukan? Ia tahu apa yang akan terjadi dalam waktu dekat, namun sekarang ia bisa melihatnya kembali hidup dan sehat.
Kansya memandang Jefril dengan ekspresi bingung. Ia tampak menilai sosok di hadapannya, mungkin heran dengan pandangan aneh yang diberikan Jefril padanya. Mungkin saja ia berpikir Jefril mengalami cedera di kepala karena terus menatapnya dengan ekspresi kaget seperti itu. Akhirnya, Kansya berdehem kecil berusaha menarik perhatian Jefril kembali ke kenyataan.
"Lo baik-baik aja? tadi lo pingsan di ruang debat." Suara Kansya membuyarkan lamunan Jefril, membuatnya tersadar bahwa ia telah menatap gadis itu terlalu lama dan terlalu intens.
Jefril berusaha menguasai dirinya menghapus kegugupan yang tiba-tiba menyeruak. Namun, saat ia membuka mulut suaranya terdengar lebih dingin daripada yang ia maksudkan.
"Gue gapapa. Nggak usah khawatir." Jefril merasa jantungnya berdebar keras, namun ia berusaha tetap tenang, seolah-olah ini hanya pertemuan biasa. Kansya tampak sedikit tersinggung dengan nada bicara Jefril yang terkesan dingin. Namun, ia memilih untuk tidak mempermasalahkannya.
"Kalau lo bilang baik-baik aja, ya udah. Tapi tadi kayanya lo tadi bener-bener pingsan cukup lama" ucapnya sambil sedikit mengangkat alis, menunjukkan sedikit ketidakpuasan.
Jefril menghela napas dalam hati. Ia merasa bersalah karena telah bersikap dingin, namun kegugupannya begitu kuat. Dalam hatinya ia tahu perasaannya terhadap Kansya begitu mendalam. Tapi kali ini berbeda, ia memiliki pengetahuan tentang masa depan yang bisa jadi berguna. Namun Kansya belum mengenalnya, belum menganggap Jefril sebagai seseorang yang berarti. Pandangan mereka masih terhalang oleh waktu dan takdir yang belum sepenuhnya terjalin. Jefril merasa seakan berdiri di antara dua realitas yaitu satu di mana Kansya hilang dari hidupnya, dan satu lagi di mana ia bisa mengubah segalanya. Tapi bagaimana caranya?
Setelah beberapa saat hening, Kansya mengalihkan pandangan dan berbicara dengan nada sedikit lebih lembut.
"Kalau lo butuh waktu buat istirahat, istirahat aja. Nggak ada gunanya maksain diri." Jefril menangkap itu sebagai ketulusan dalam suara gadis itu dan hal itu menambah perasaan hangat di dalam hatinya. Namun ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa waktu mereka terbatas."Makasih udah bantu gue tadi" ucap Jefril dengan nada lebih lembut berusaha memperbaiki kesan pertama yang mungkin sudah salah. Kansya menatapnya sesaat, tersenyum tipis, lalu mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Turn Back Time
Fiksi PenggemarJefril Ananta terperangkap dalam penyesalan mendalam atas kehilangan kekasihnya yang pergi saat ia terlibat dalam demonstrasi. Setiap kali ingat akan momen itu hatinya dipenuhi rasa bersalah dan kerinduan. Suatu malam, dalam keadaan mabuk ia berdoa...