02. ceria bertopeng

16 3 1
                                    

Happy Reading 🌻

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy Reading 🌻

Lara mengerjapkan matanya berulang kali, melihat betapa indahnya pemandangan yang ada di hadapannya saat ini. Bibirnya tak berhenti mengangga sedari tadi. Bagaimana tidak, lihatlah  taman luas membentang yang dipenuhi dengan bunga yang begitu indah dan lebat. Perlu diketahui, Lara sangat menyukai bunga. Tak heran jika ia takjub berkepanjangan. Daripada mengabadikan, Lara lebih memilih menikmatinya. Ia menarik napas dalam, tak ingin ia hembuskan. Karna memang semenyegarkan itu, tempat yang sekarang ia pijaki. Ia kembali memejamkan mata, merentangkan kedua tangannya, membiarkan rambut panjangnya terurai terbang bersama angin keabadian. Bibirnya tersenyum lebar, angin seolah menjadi saksi kebahagiaannya.

"Cie, yang lagi bahagia." suara itu membuyarkan kebahagiaan Lara. Sedangkan gadis itu seketika membuka matanya.

"Hai, kamu datang lagi? Aku rindu." Lara memeluk seseorang yang ada di hadapanya itu. Tapi pelukan itu memberat, Lara seperti bersandar dan menyerahkan semua beban.

"Tetaplah bahagia seperti itu, Lara."

"Ada cerita apa hari ini?" sambungnya

"Tapi aku capek, aku lelah, aku pengen pulang. Aku capek, Idad, c-caa-pek." jika bersamanya, Lara selalu menjadi orang yang begitu rapuh, dia menjadi orang yang bukan dirinya. Hanya dengannya.

"Dengarkan aku, aku di sini bersamamu. Jangan merasa sendiri, sebab aku adalah kamu." Lara melepaskan pelukannya. "Kamu selalu seperti itu."

Gadis di hadapanya tersenyum manis. Lantas menarik tangan Lara dan membawanya berlari memutari taman bunga itu. Dengan gelak tawa yang begitu menggembirakan. Kedua gadis itu menari-nari, berlari kejar-kejaran, dan tertawa lebar seolah semua memang tak pernah terjadi.

"Terima kasih telah menjadi tempatku pulang, Idad."

"Terima kasih kembali, karna memilih bertahan, Lara."

"Tetaplah bersamaku dan jangan pernah pergi."

"Tentu, karna aku dan kamu adalah- kita."

***

Lara membuka matanya perlahan, namun kepalanya begitu berat, dia tetap mencoba membuka matanya dengan sempurna. Melihat sekeliling, ah sial, sungguh berantakan. Setelah itu ia bangkit, dan menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya serta membersihkan kamarnya yang mirip dengan kapal pecah itu.

Tak butuh waktu lama, semua sudah rapih seperti semula, bahkan dirinya  pun jauh lebih segar dan bahkan seperti tidak terjadi apa-apa.

Lara lantas bersiap-siap untuk ke kampus. Lara adalah Mahasiswi disalah satu universitas yang ada di Jakarta. Ia mengambil jurusan sastra sesuai bakat dan minatnya. Saat ini Lara menginjak semester empat.

Lara mulai menuruni anak tangga. Sepi, itulah keadaan saat ini. Setiap hari memang begitu, kadang Lara bingung, sebetulnya rumah ini dibangun untuk apa jika yang menempati seperti jalangkung yang kadang ada kadang juga hilang tanpa aba. Beruntungnya rumah ini tak terlalu besar untuk seukuran Lara yang menempatinya sendiri.

Bunda? Jangan menanyakannya. Dan bahkan setelah memasak, Difa langsung pergi meninggalkan  rumah untuk kembali ke Amerika. Jadi, dia pulang hanya untuk membuat Lara menderita? Ya bisa dibilang begitu.

Lara berjalan menuju dapur. Tepat di pintu kulkas ada sebuah note yang menempel di sana, bertuliskan 'sudah saya masakan, tinggal panaskan saja. Jangan lupa jadi anak yang tau diri'

Lara merobek note itu, hatinya bimbang. Sebenarnya, mengapa Bundanya begitu? Sebenarnya Bundanya ini sayang atau tidak dengannya? Mengapa segala perlakuan dan kalimatnya seolah bertolak belakang. Inikah definisi yang melukai juga yang mengobati? Tapi Lara rasa tak pernah sedikitpun dia terobati, melainkan selalu terus menerus dihujami beribu duka.

Lara membuka kulkas, ada omlet telur di sana, bagaimana bisa telur yang sudah matang dimasukan ke dalam kulkas? Namun berhubung dia rindu dengan masakan Bundanya, ia tetap memanasi omlet itu. Lantas memakannya dengan lahap. Setelah itu dia berangkat.

Setibanya di kampus, Lara segera menaiki tangga karna kelas hari ini ada di lantai tiga.

"Kak Lara." panggilan itu membuat langkah Lara terhenti dan membalikan badan.

"Eh Lina, ada apa?" tanya Lara sembari menjabat tangan Lina. Memang begitu tradisi kampus ini, ketika berpapasan dengan seseorang yang mereka kenal, pasti akan menyapa dan berjabat tangan.

"Anterin aku bisa nggak, Kak?" raut wajah Lina tampak begitu lesu.

"Ah iya, ayo kuantar. Jangan khawatir, ada aku di sini." Lara merangkul pundak Lina seolah memberikan kekuatan.

Keduanya kembali menuruni anak tangga dan menuju ke ruang kepala BAAK. Memang begini kerjaan Lara setiap UAS tiba. Akan menghantarkan teman-temannya untuk meminta keringanan biaya. Tak jarang dia pun ikut menangis karna hanya ini yang bisa ia berikan kepada temannya, hanya sebuah genggaman serta pelukan ketenangan. Namun dia juga beberapa kali ikut membantu berbicara dengan kepala BAAK. Seperti sekarang ini, Lina dengan tangan gemetar mulai berbicara mengapa ia tak bisa membayar yang bulanan, suaranya begitu tercekik. Lara di belakangnya mengambil tangan Lina dan menggenggamnya erat, menyalurkan kekuatan dan kalimat "tenang aku ada di sini."

Setelah beberapa menit akhirnya mereka keluar dari ruangan itu, Lina tampak lega begitupun dengan Lara.

"Kak, makasih banyak," ucap Lina dengan mata berkaca-kaca.

"Ini sebuah kewajiban jadi nggak perlu bilang makasih. Kalo ada apa-apa bilang ya, aku di sini, untuk kamu."

Lina tersenyum, betapa bersyukurnya ia memiliki teman seperti Lara, Lara memang begitu. Ketika di luar rumah semua baik-baik saja. Ia selalu menjadi tempat pulang untuk teman-temannya. Ia selalu menjadi pendengar setia bagi semua hati yang rapuh. Ya, inilah Lara, ceria bertopeng.

TBC

Yuhu~
Kali ini ga berat-berat dulu.
Gapapa dikit-dikit yang penting nulis wkwkwk.

Jangan lupa vote dan komen ygy!
Ah iya, mo minta tolong sesiapapun itu, kalo daku tida update setiap hari tolong grebeg dan teror, seqyan~

With love,

Birrunisan_

After you goTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang