Prolog

421 50 4
                                    

Perasaan itu datang tanpa pernah kuduga sebelumnya. Layaknya hujan yang tiba-tiba turun di tengah teriknya sinar matahari. Aku bahkan tak tahu sejak kapan rasa ini hadir. Mungkin rasa ini hadir seiring dengan kebersamaan kita. Dia yang selalu menemaniku, mendengarkan segala keluh kesahku, memberikan senyuman dan perhatian yang seharusnya biasa saja. Tapi, entah mengapa semua itu terasa berbeda, seolah-olah dia berhasil mengisi ruang hatiku yang sempat kosong, setelah aku putus beberapa bulan yang lalu.

Dia hadir, mengisi kekosongan yang tak pernah ku akui dan entah bagaimana, kehadirannya berubah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar teman biasa?

Mulai dari sinilah kita sering menghabiskan waktu bersama. Saling bercerita tentang banyak hal. Dia tahu betul bagaimana aku tersenyum saat marah dan bagaimana aku tertawa saat kesal. Sebaliknya aku-pun tahu segala tentangnya, mulai dari mimpi-mimpinya, kebiasaan buruknya, hingga caranya berbicara dengan nada yang terdengar tenang, padahal aku tahu dia sedang khawatir akan sesuatu.

Tapi, semakin hari, aku menyadari ada sesuatu yang berbeda di antara kita. Momen-momen kecil yang dulunya biasa saja, tiba-tiba sekarang terasa lebih penting. Setiap tawanya, setiap lirikan mata yang selalu ia lemparkan ketika aku sedang bercerita dan semua tentangnya terasa berbeda bagiku.

Entahlah aku sendiri bingung dengan hubungan yang sedang kita jalani ini. Mau dibilang teman, tapi kita saling mengatur satu sama lain. Dia yang akan selalu marah ketika aku pergi tanpa bilang dan sebaliknya, aku yang akan selalu marah ketika melihat dia bersama dengan perempuan lain. Cemburu? Bisa dibilang seperti itu. Padahal, aku tidak berhak untuk itu, karena aku dan dia hanya sebatas teman.

Suatu malam, ketika aku dan dia duduk berdua di sebuah taman sembari memandangi langit yang penuh bintang.

Dia berkata dengan nada bercanda, "Lucu, ya kita? sering bersama, kemana-mana berdua, sampe dikira pacaran padahal mah kita cuman teman."

Aku tertawa pelan, meski dalam hatiku terasa sakit. Kata "teman" itu terasa semakin kabur, membingungkan.

"Iya, lucu," jawabku singkat, menutupi perasaan yang semakin sulit kusembunyikan.

Dan dari situlah, aku sadar perasaanku mulai berubah bukankah seharusnya aku biasa saja? Toh kita memang teman. Aku rasa dia juga merasakan hal yang sama, namun tidak ada yang berani mengakui, tapi tidak ada juga  yang bisa sepenuhnya melepaskan. Hanya rasa tanpa kata, hanya hubungan tanpa nama yang entah mengapa terasa nyaman, meski di sisi lain menyakitkan.

Satu hal yang selama ini mengganggu pikiranku, kemana ujungnya hubungan ini akan berlabuh? Akankah kita saling mengungkapkan perasaan? atau kita akan selamanya saling diam meski menyakitkan?

---
Holaaa guys, Nala Dafa pindah univers yaa wkwk. Kemaren kan di apk sebelah sekarang kita pindah di wp saja. Semoga suka🤍

RidNala (Hanya rasa tanpa kata) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang