Temen kok perhatian

220 34 4
                                    

Hanya Rasa tanpa Kata dan tak tahu kemana ujungnya


---

Malam itu hujan turun perlahan, menyebarkan aroma khas tanah basah yang membuat udara terasa segar dan menenangkan. Nala duduk di sudut kamarnya, menyandarkan punggungnya di bantal. Tangannya sibuk memegang handphone, tapi pikirannya melayang jauh, terpaut pada satu sosok yang akhir-akhir ini menemani hari-harinya semenjak ia putus dari Ilham, siapa lagi kalau bukan Ridafa.

Sejak konser itu, ada sesuatu yang berubah. Perubahan kecil yang nyaris tak terlihat, tapi cukup untuk membuat Nala terus memikirkannya. Bunyi notifikasi pada handphonenya membuyarkan lamunannya. Ternyata yang mengirim pesan adalah sosok yang ada pada lamunanya.

Ridafa

Udah Makan La?

Anda 

Belom, gak mood makan


Tak sampai satu menit, ponselnya bergetar lagi. Kali ini, panggilan masuk dari Ridafa. Tanpa pikir panjang, Nala langsung mengangkatnya, suara Ridafa langsung mengisi kesunyian malam ini.

"Lo lagi ada masalah ya? Tumben banget gak mood makan," tanya Ridafa dengan nada tegas namun terdengar perhatian. Suara seraknya terdengar jelas, seolah hujan di luar pun enggan meredamnya.

"Enggak kok, gue gak papa. Cuman emang lagi males makan aja," jawab Nala sembari mengalihkan pandangannya ke luar jendela, mengikuti tetesan hujan yang turun satu per satu pada malam itu. Di ujung telepon, Ridafa terdiam sejenak. Hanya suara hujan yang tersisa, membuat percakapan mereka seolah lebih intim, meski tak ada kata yang diucapkan.

"Keluar La, gue di depan kos lo nih," suara Ridafa tiba-tiba terdengar lagi, membuat Nala terlonjak kaget.

"Hah, ngapain? Udah malam ini, mana ujan," tanyanya setengah tak percaya. Ia tak mengerti jalan pikiran Ridafa yang tiba-tiba sudah ada di depan kosnya. Sungguh kelakuan cowo itu memang kadang di luar nalar. Dengan cepat, Nala meraih hijab yang ada di ranjangnya, kemudian ia langsung berlari ke luar kos dan benar saja di luar sana ia mendapati Ridafa tengah berdiri di sana dengan jas hujannya yang sudah basah. Ridafa juga menggenggam kantong plastik yang sepertinya berisi makanan. Mata mereka bertemu, dan untuk sesaat waktu seolah berhenti. Ada kehangatan di mata Ridafa yang membuat Nala tak mampu berpaling.

"Nalaaa, bukain gerbangnya. Kenapa malah bengong di situ,"teriak Ridafa karena Nala yang tak kunjung membuka gerbang kosnya dan malah berdiri di depan pintu saja.

"Ehh, iyaa maaf. Bentar Daf,"ujar Nala kemudian ia langsung berlari menerjang hujan guna membukakan gerbang untuk Ridafa. Ridafa masuk dan memarkirkan motornya, kemudian mereka berdua jalan beriringan ke arah teras kos Nala.

"Nih," kata Ridafa sambari menyerahkan kantong plastik yang ia bawa tadi.

"Ini Nasi goreng seafood. Di makan ya, gue gak mau lo sakit," lanjut Ridafa.

Nala mengulurkan tanganya dan menerima kantong itu dengan senyuman yang sulit disembunyikan.

 "Makasih Daf, sorry jadi ngerepotin lo." Ridafa mengangkat bahu sambil menyeringai. 

"Aman aja, gue cuman gak mau lo sakit. Ntar kalau lo sakit gak ada yang gangguin gue lagi dong.?"

"Hahaha, apasehh."

Nala tertawa kecil, suara tawanya seolah mencairkan jarak di antara mereka. 

"Masuk dulu yuk, Masih ujan gini."

Tanpa ragu, Ridafa melangkah masuk ke ruang tamu yang memang ada di kos Nala. Nala mempersilakan Ridafa untuk duduk lebih dulu. Sementara ia kembali masuk ke dalam kamar untuk mengambil handuk kecil untuk Ridafa. Setelah itu ia kembali ke ruang tamu dan memberikan handuk kecil itu kepada Ridafa.

"Makasih," ucap Ridafa, setelah itu ia gunakan handuk kecil itu untuk mengeringkan rambutnya yang basah karena hujan. 

Mereka duduk berdua di sofa, kantong plastik berisi makanan tergeletak di atas meja. Nala membuka kantong itu dan menemukan nasi goreng seafood favoritnya, seperti yang Ridafa katakan tadi. 

"Kok lo masih inget sih Daf, makanan kesukaan gue," katanya dengan senyum tipis.

Ridafa menatap Nala, bibirnya terangkat membentuk senyum kecil mendengar ucapakan Nala barusan. Entahlah ia merasa senang melihat Nala senang.

"Apasih yang gak gue inget tentang Lo La? Semuanya gue inget hahaha."

Kalimat itu menggantung di udara, membuat jantung Nala berdetak lebih cepat. Apa artinya itu? Apakah itu hanya sekadar perhatian teman atau lebih dari itu?

"Iya deh si paling inget," ujar Nala dengan suaranya nyaris berbisik. 

"Daf, kenapa?"tanya Nala tiba-tiba membuat Ridafa yang awalnya ketawa seketika diam dan tersenyum tipis.

"Kenapa apanya?"

"Sudahlah lupakan."

"Loh, ayo bicarakan apa yang pengen lo tahu. Gue gak paham."

"Gak papa. gak jadi."

"Lo gak nyaman ya dengan sikap gue?"

Nala menunduk, memainkan ujung hijabnya. Kenyamanan itu memang nyata, tapi dalam keheningan malam, ia menyadari bahwa kenyamanan itu juga mengandung ketidakpastian yang menghantuinya.

"Bukan gitu, gue nyaman kok. Gue seneng lo selalu ada buat gue,"tapi.... Nala mengaku dan ia mendongak menatap Ridafa yang matanya kini terpaku padanya. Ridafa menarik napas panjang, seolah sedang berjuang dengan kata-kata yang ingin keluar. 


"La, gue paham kok. gue sendiri juga bingung. Gue gak pernah ngerasa kayak gini sama orang lain, tapi jujur gue juga gak tau apa yang harus  gue lakuin."

Keduanya terdiam, hanya suara hujan yang terus mengiringi. Ridafa mencondongkan tubuhnya, mendekatkan diri ke arah Nala. Tangan mereka hanya terpisah beberapa inci, dan seolah tanpa sadar, Ridafa menyentuh jari Nala. Sentuhan itu sederhana, tapi mengalirkan ribuan perasaan yang tak terucap. Nala merasakan hangatnya tangan Ridafa, menambah kehangatan di pipinya yang mulai memerah."Gue cuma ingin kamu tahu satu hal, La," suara Ridafa pelan, hampir seperti bisikan. 

"Gue bakal selalu ada buat lo."

Nala menatap Ridafa, hatinya bergetar mendengar kata-kata itu. Dalam hubungan mereka yang tidak bernama ini, ada momen-momen kecil yang membuat semuanya terasa lebih nyata, namun tetap diwarnai ketidakpastian.

"Iya, gue tahu itu kok. Makasih ya. tapi Daf, lo tahukan arah pembahasan gue kemana?" tanya Nala pelan, matanya mencari kejujuran di mata Ridafa.

Ridafa mengangguk, senyumnya muncul perlahan.

"Iya, La. Gue tahu, tapi gue rasa ini belum saatnya."

Malam itu, mereka duduk di sana, berbagi kehangatan dan perasaan yang masih terbalut kabut. Tak ada kata, tak ada definisi, hanya dua hati yang saling menemukan kenyamanan di tengah hujan yang terus menerus turun. Nala tahu, dalam hati yang penuh teka-teki ini, Ridafa adalah jawaban yang paling ia tepat, meski belum bisa ia klaim sepenuhnya. 


---

Holaaa guys, menurut kalian gimana ceritanya? 

Kalau kalian mau kasih kritik dan saran boleh banget komennya yaaa:)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RidNala (Hanya rasa tanpa kata) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang