Rasaku urusanku, terkait rasamu aku tak mau tau.
---
Hari sudah menjelang sore. Namun hal itu tidak membuat Nala bangkit dari duduknya. Saat ini ia duduk sendirian di bangku taman yang berada di kampus, ditemani bayang-bayang rindunya akan seseorang yang kini hanya tinggal kenangan, siapa lagi kalau bukan mantan kekasihnya Ilham. Angin berhembus pelan, menggoyangkan daun-daun di sekitarnya, seolah-olah mereka turut merasakan beratnya hati Nala saat ini. Hari ini tepat minggu pertama sejak ia dan Ilham memutuskan untuk berpisah karena alasan LDR yang bagi sebagian orang hanya masalah kecil dan sebenernya tak perlu sampai harus pisah. Namun hal itu tidak berlaku bagi mereka berdua.
Ketika ia terdiam memandang langit yang sudah mulai gelap, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Nala menoleh perlahan dan mendapati sosok Ridafa berdiri di hadapannya. Lelaki yang dulu menjadi teman pertamanya saat ospek, Ridafa memberikan senyuman kecil kepada Nala, seolah ia menyadari keadaan hati Nala tanpa perlu bertanya.
"Hai, Nala. Boleh duduk?" Ujar Ridafa sembari menunjuk bangku di sebelah Nala.Nala mengangguk pelan dan mempersilakan Ridafa untuk duduk.
“Hai, Daf. Apa kabar? Udah lama ya kita gak ketemu, ” tanya Nala dengan suara yang ia buat sebiasa mungkin. Agar Ridafa tidak tahu kalau ia habis menangis. Ridafa mengangguk dan tersenyum hangat.
"Gue baik, lo sendiri gimana? Sorry kalau lancang, tapi gue udah tau soal lo sama Ilham,"ujar Ridafa dengan suara pelan, ia takut menyinggung perasaan Nala. Jujur saja Nala sedikit tersentak, ia tak menyangka kalau kabar dirinya putus dengan Ilham sudah menyebar. Ia menunduk, tersenyum pahit.
“Hahaha gak papa, aman kok. Ya mungkin jalannya emang begini.”
Nala menghela napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara lebih lanjut.
"Kadang, kita harus belajar melepaskan sesuatu yang kita sayang meski berat.”
Ridafa menatapnya dengan penuh perhatian, tidak mendesak, hanya mendengarkan. Nala merasa sedikit lebih nyaman, seperti ada yang mengangkat sebagian dari beban berat di pundaknya.
“Kalau ada apa-apa, atau lo lagi butuh temen buat dengerin curhatan lo, gue ada kok La,” ujar Ridafa tulus, suaranya tenang namun memberi kehangatan.
Hari itu menjadi titik awal dimana pertemanan mereka menjadi lebih dekat. Kehadiran Ridafa seperti memberi ruang bagi Nala untuk berbagi tanpa harus merasa dinilai atau dihakimi. Setiap kali ia merasa sedih atau kesepian, Ridafa selalu muncul entah dari mana dengan senyum ramahnya dan dia selalu siap menjadi telinga yang mendengarkan semua keluh kesahnya.
Hari berganti begitu cepatnya. Nala dan Ridafa juga semakin dekat. Dari yang awalnya hanya bertemu untuk bertukar cerita, lama kelamaan mereka menemukan kenyamanan satu sama lain.
Di suatu sore yang dingin, Nala dan Ridafa duduk di kursi taman yang sama saat mereka kembali bertemu waktu itu. Nala yang tadinya tenggelam dalam buku tiba-tiba tersenyum sembari menggelengkan kepalanya.
"Kalau dipikir-pikir hidup gue beberapa minggu yang lalu tuh gak ada gunanya ya Daf? Kek isinya cuman nangisin Ilham doang hahaha," ujar Nala diakhiri dengan tawanya. Ridafa yang mendengar itu juga ikut tertawa ringan.
“Baru sadar? Hahaha, tapi La. Hal yang lo lakuin kemarin itu gak salah kok. Namanya juga proses, jadi kalau lo sedih atau mungkin kangen itu wajar aja.”
Nala menatap Ridafa, merasa tersentuh dengan jawaban yang Ridafa berikan. Ridafa selalu bisa membuatnya merasa baik, seolah apa pun yang ia rasakan adalah wajar dan tak perlu disesali. Nala merasa terhibur dengan cara Ridafa memandang hidup yang santai namun penuh pengertian.
Lama kelamaan, Nala tak hanya merasa terbantu, tapi ia juga kagum terhadap sosok Ridafa Andra Saputra. Ia adalah sosok yang tenang, tak pernah tergesa-gesa dalam menghadapi segala hal, tapi minusnya sedikit ceroboh. Semakin lama mengenal Ridafa, Nala semakin yakin, bahwa luka di hatinya akan segera sembuh.
"Di dekat kampus ada pasar malam La, mau kesana gak?"
"Dimana? Perasaan gue lewat tadi sepi-sepi aja."
"Di belakang kampus, mau gak?"
"Boleh deh, ayo."
"Gass."
Akhirnya mereka berdua berjalan beriringan ke pasar malam yang benar-benar berada tepat di belakang kampus mereka. Di sana juga ada seperti acara musik kecil yang berada di tengah-tengah pasar malam. Mereka akhirnya memutuskan untuk menonton acara musik tersebut sembari memakan jajanan yang sudah mereka beli tadi. Tanpa Nala sadari, ini adalah kali pertama Nala merasa begitu bahagia sejak berpisah dengan Ilham.
Di sana, Nala bisa tertawa lepas tanpa ada bayang-bayang masa lalu. Ia menikmati setiap momen bersama Ridafa, menikmati kebersamaan yang begitu ringan namun sarat akan makna. Ridafa tak pernah menuntut lebih, selalu memberi Nala waktu untuk menyembuhkan lukanya.
Hari-hari yang mereka lalui bersama akhirnya membentuk kedekatan yang sepertinya istimewa. Nala tak lagi merasa hidupnya hampa. Setiap kali Ridafa muncul dengan senyum khasnya, Nala merasa dunianya kembali berwarna. Mereka sudah bisa saling mengerti tanpa banyak kata. Obrolan mereka tak lagi sekedar perbincangan ringan; kini ada banyak momen di mana mereka bisa berbicara tentang impian, masa depan, dan hal-hal yang dulu tak pernah mereka bahas dengan orang lain.
Pada suatu hari, Ridafa mengajak Nala duduk di bawah pohon besar di tepi danau. Dengan tenang, Ridafa mengeluarkan sesuatu dari tasnya—sebuah buku catatan.
“La, ini hadiah buat lo,” kata Ridafa sembari menyerahkan buku tersebut. Di sampulnya tertulis, “Selalu Ada Kamu.”
Nala tersenyum, sedikit terkejut. “Seriussn buat gue? ”
Ridafa mengangguk. “Gue tahu lo suka nulis dan ya semoga buku ini bisa jadi tempat buat lo meluapkan segala hal yang lo rasain."
Nala terdiam sesaat, hatinya tersentuh. Tanpa sadar, ia mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang istimewa di antara mereka—sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan. Di tengah-tengah kebersamaan ini, Nala tahu bahwa Ridafa adalah orang yang selama ini ia butuhkan. Seseorang yang hadir di saat-saat sulit dan tetap bertahan tanpa ragu. Namun Nala juga sadar, kalau mereka hanya sebatas teman. Nala tidak ingin merusak pertemanan ini hanya karena sebuah perasaan, biarlah perasaan ini menjadi urusannya, perihal perasaan Ridafa ia tak mau tau.
-----
Lanjut besok atau malam ini?

KAMU SEDANG MEMBACA
RidNala (Hanya rasa tanpa kata)
JugendliteraturTak ada yang mengira hubungan yang awalnya berupa pertemanan biasa, tiba-tiba rasa saling memiliki itu hadir. Tak ada kata yang terucap dari kita berdua, namun percayalah rasa itu ada. Entah sampai kapan semuanya akan terasa rahasia, tanpa ada yang...