"Anna.."
"Apa tadi malam kau tidur nyenyak, Sayang?" seorang wanita paruh baya bertanya lembut kepada gadis yang terlihat jauh lebih muda.
Maskara yang tebal membuat wajah si wanita paruh baya terlihat lebih tajam. Ditambah dengan garis mata yang ditarik, penampilannya tidak tampak seperti wanita paruh baya pada umumnya. Malah sebaliknya, itu terlihat sangat norak dan palsu.
Dibandingkan dengan si wanita paruh baya, penampilan gadis yang ditanyai terlihat sangat jauh berbeda. Bahkan tanpa memakai produk perawatan apapun, kulit putih dengan mata hitam yang membius membuat orang-orang merasa takjub saat pertama kali melihat.
"Aku tertidur sangat nyenyak, Ibu."
"Terimakasih karena telah merawatku dengan baik." balas si nona cantik.
"Tidak perlu berterimakasih. Kita adalah keluarga. Sudah sewarnya jika Ibu memperlakukanmu dengan baik." sang nyonya rumah kembali berucap.
"Itu benar."
"Kita adalah keluarga." kali ini suara serak seorang lelaki yang terdengar.
Hening.
Percakapan terhenti untuk sementara waktu. Muda-mudi yang duduk di sofa panjang saling melirik. Sedangkan gadis cantik pemilik bangku tunggal tak ingin repot-repot mencari topik pembicaraan.
Itu benar.
Tempat dilakukannya basa-basi ramah saat ini adalah ruang tamu keluarga. Bangunan tua yang disebut rumah itu memiliki beberapa cat yang telah mengelupas.
Diantara beberapa ruang yang sudah tak terawat, ruang tamu adalah satu-satunya tempat yang terlihat lebih baik. Ada sebuah meja dan beberapa sofa yang masih layak untuk dijadikan sebagai tempat duduk.
Jika itu sebelumnya, Anna tidak mungkin untuk mendudukkan diri di sofa berkualitas rendah seperti ini. Lagipula, dia adalah orang yang memiliki hubungan baik dengan tuan muda dari Keluarga Luciant.
Para pelayan tidak akan berani untuk memandang rendah dirinya. Terlebih untuk fasilitas yang Ia terima. Barang-barang yang Ia miliki berasal dari merk ternama dan berkualitas tinggi. Bahkan ada beberapa diantaranya yang dibuat khusus oleh seorang ahli.
Itu semua adalah hasil dari kerja kerasnya selama sepuluh tahun. Untuk mendapatkan nya, bukan hanya menjadi pintar, namun pengaturan emosi juga sangat diperlukan. Jika tidak begitu, dia tak mungkin bisa memperoleh kepercayaan dari Kepala Keluarga Luciant dan mendapatkan hati pewaris utamanya.
Menjadi pintar bukan berarti kita harus terus maju demi bisa mewujudkan ambisi yang kita miliki. Ada kalanya kita harus tahu kapan waktunya untuk mundur, dan kapan giliran untuk menyerang. Itu yang dinamakan sebagai management emosi.
Jangan sampai orang lain tahu pikiran terdalam yang kita rasakan. Seperti yang tengah Ia lakukan saat ini.
Jika dia terus memaksa Stevan untuk mendukung nya, dirinya mungkin akan kehilangan seluruh kepercayaan Kepala Keluarga Luciant.
Wanita tua itu bukan hanya akan mencurigainya memiliki ambisi tersembunyi untuk tinggal di sekitar lingkungan Keluarga Luciant. Namun dia pasti juga akan menemukan bukti yang memperkuat dugaannya.
Saat ini mungkin dia tengah diasingkan secara halus. Tapi jika dia membuat satu saja kesalahan, Ia yakin tidak butuh waktu lama bagi dirinya untuk menjadi seorang gelandangan yang menyedihkan.
Tinggalnya dia di tempat ini bukan hanya sebagai bentuk kepedulian wanita tua itu terhadap masalah keluarga kandungnya. Namun itu juga sebagai peringatan bagi dirinya.
Untuk itu, sebisa mungkin dia harus dapat memainkan perannya dengan baik. Setelah kepergiannya, dia yakin wanita tua itu akan membawa gadis lain untuk dipasangkan dengan pewarisnya. Asal dia tidak menjadi pengganggu dalam prosesnya, dirinya bisa selamat dari kecurigaan memiliki ambisi liar terhadap Keluarga Luciant.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berpura-pura Menjadi Teratai Putih
RomanceBudayakan follow sebelum membaca. *** Gadis secantik boneka menatap ke arah jendela yang gelap. Meski kaca yang terlihat tak menunjukan tanda-tanda kehidupan, dia tahu ada orang yang berdiri menatapnya di balik kaca gelap itu. Tatapan panas itu be...