Hari-hariku tidak berjalan normal seperti dahulu.
Pertama, statusku kini berubah menjadi anak tunggal keluarga Bapak Mahendra dan Bu Andari. Mas Rama telah pindah ke rumahnya sendiri setelah resmi berstatus sebagai seorang kepala rumah tangga. Rumah yang biasanya diisi pertengkaranku dan Mas Rama mendadak sepi. Keberadaannya yang biasa wara-wiri seperti raksasa sekarang hilang. Hampir genap tiga bulan sejak rumah ini ditinggalnya, nyatanya aku masih tak terbiasa dengan suasana sepi seperti ini.
Kedua, rutinitas perkuliahanku pun berubah. Agenda penyusunan skripsiku semakin padat. Semakin diburu-buru karena naasnya pembimbingku ingin skripsiku selesai lebih cepat. Jadi sejak beberapa minggu lalu aku seperti mayat hidup mengerjakan ini itu, kesana kemari. Sampai Mama mulai khawatir kalau-kalau aku akan tumbang.
Ketiga, sama halnya denganku, Oliv pun semakin sibuk. Kami para mahasiswa keperawatan tingkat akhir disibukkan dengan tagihan skripsi dan praktik di rumah sakit. Aku seperti kehilangan tempat bersandar. Aku bertemu Oliv hanya di kampus saat kuliah dan istirahat. Tidak ada waktu kami bertemu di luar, liburan, atau sekadar hangout bersama. Padahal di saat-saat seperti ini aku butuh support system untuk setidaknya berkeluh kesah.
Keempat, kehadiran orang-orang yang tidak kuduga.
Silahkan coret nama Raden, karena aku benar-benar tidak pernah bertemu dengannya sejak di pernikahan Mas Rama.
Ari, tingkahnya kian memperjelas apa yang kukhawatirkan. Ari menjadi lebih sering bergabung denganku dan Oliv di jam makan siang. Satu hal yang kutahu, sepertinya Oliv pun sadar dan berada di pihak Ari.
Akan tetapi, hal yang berada diluar nalar adalah Jolang.
Kupikir, pertemuan kami di rumahnya waktu hanya suatu perkenalan sambil lalu. Aku tidak pernah mengira kalau akan ada hari di mana ia mengikuti sosial mediaku, bertukar kabar, and have a little chit chat.
Sampai aku merasa perlu menanyakan perihal tingkah lakunya yang menurutku tidak biasa.
Alinka
Lang, sorry to say but you don't trying to flirt with me, right?Beberapa waktu mengenalnya, aku merasa Jolang memang menyenangkan. Selayaknya kawan lama, aku bahkan tidak merasakan adanya perbedaan usia antara kami. Namun, sekalipun berteman dengan Jolang menyenangkan, aku tidak ingin menjadikannya sebagai suatu celah untuk hal-hal lain yang lebih dari ini.
Jolang
Hahaha kebaca banget?
Jadi, boleh gue jemput setelah shift lo selesai?"Lo balik sama siapa, Al?"
"Gue lagi bawa mobil kok."
"Malam-malam gini? Sendiri?"
Beginilah jika aku masuk shift sore, pulang malam hari. Walaupun belum terlalu malam, tetap saja dianggap berisiko untuk seorang wanita. Untungnya jarak rumah dengan tempatku praktik kali ini kurang dari satu jam, jadi aku tidak akan terlalu larut sampai rumah.
Pernah sekali waktu aku praktik di rumah sakit yang cukup jauh dan tiba di rumah pukul 10 malam karena macet. Untungya saat itu aku sedang memakai mobil, bukan motor seperti seringnya. Aku ingat bagaimana Mas Rama sudah bertengger di depan teras dengan ponsel yang kuyakin bolak-balik ia gunakan untuk meneleponku karena sepanjang jalan ponselku berulang kali bergetar.
"Rame banget itu notif."
Bukannya Reta yang mengintip layar Hpku, tapi memang ketika kau menyalakan data seluler, notifikasi yang semula terkubur langsung muncul ke permukaan. Beberapa pesan masuk dan telepon dari Mama, email tidak penting, reminder tugas, grup kuliah, grup keluarga, dan Jolang.
Jolang
Mbak, weekend ini masuk? Can I pick you up this weekend?"Pacarmu ya, Al?"
Aku nyaris menjatuhkan ponselku saat mendapati Reta sudah memangku dagunya di pundakku dengan tatapan menggodanya. Apakah aku sudah bilang kalau temanku yang satu ini memang kepo luar biasa? Salah sekali aku satu shift dengan Reta.
"Bukan. Awas ya kamu nyebar gosip aneh-aneh."
"Kalo bukan pacar nggak usah panik gitu dong, Say." Aku hanya memutar mata malas menanggapi lebih jauh. "Nggak papa, Al. Emangnya lo nggak suntuk kuliah-pulang-praktik gitu-gitu doang? Syukur dong kalo ada yang care sama lo. Jangan cuma caring ke pasien, Al. Caring ke diri lo sendiri juga."
Bisa-bisanya dia membawa-bawa pelajaran di saat seperti ini. Mentang-mentang kami perawat, lalu dia membahas prinsip caring. Rasanya ingin kuraup wajah menjengkelkan Reta barusan kalau saja kami tidak berpapasan dengan teman-teman lain saat berjalan keluar ruangan.
Ada Ari di sana. Kami memang praktik di ruangan ya sama, hanya saja berbeda shift. Aku bertukar shift dengan Ari yang mendapat shift malam.
Di saat Reta menyemangati mereka satu per satu dengan riang, aku berdiri kikuk setelah memberikan semangat sekaligus untuk mereka semua.
"Eh Al, sebentar." Tubuhku terhenti di depan lift ketika mendengar seseorang memanggilku. Ari sedikit berlari kecil dan mengisyaratkan untuk mendekat ke arahnya. Mungkin ia tidak ingin pembicaraannya didengar orang lain.
"Lo... sabtu minggu depan kosong nggak?"
"Kenapa, Ri?"
Ari tidak langsung menjawab, justru menggaruk belakang kepalanya. Gelagat yang sangat terbaca kala seseorang sedang gelisah.
"Nggak papa sih. Tadinya mau ngajak bareng ke charity event-nya FIK."
Aku baru ingat, kalau minggu depan fakultas akan mengadakan charity event untuk memperingati hari kanker sedunia. Sebenarnya bukan acara wajib. Siapa pun boleh datang ataupun tidak datang. Toh acara itu terbuka untuk umum.
"Udah ada janji ya?" Ari menyimpulkan sendiri dengan helaan napas yang ia coba sembunyikan. "Oke, nggak papa. Maybe next time? Hati-hati pulangnya."
Tubuh Ari berlalu begitu saja sebelum aku sempat membalas sapaannya. Tapi baru berjalan selangkah, tubuhnya kembali berbalik.
"Oh iya, Al, pulangnya lewat pintu gedung D aja. Ada banyak pekerja proyek di pintu keluar Gedung C."
Aku tahu rumah sakit tempat kami praktik ini sedang dalam tahap revitalisasi, khususnya gedung C, gedung yang paling dekat dengan parkiran.
Ari bahkan masih memedulikanku di saat kekecewaan itu terukir jelas di wajahnya.
Tidak pernah sekalipun aku ingin menyakiti Ari. Ia temanku. Tapi kutahu semua terlanjur. Perasaan yang menyelinap dalam kehidupan Ari datang tanpa bisa kucegah. Meninggalkan pilihan paling sulit untuk diambil dan aku sadar jika sudah begini, akan ada kemungkinan Ari akan menjauh atau bahkan menghindariku.
Mungkin nanti, aku harus bicara dengan Ari. Mengenai aku dan dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once in a Blue Moon
ChickLit"If life were predictable it would cease to be life, and be without flavor." -Eleanor Roosevelt