Faktor obat

0 0 0
                                    

Asti Bumi Rahaja

Meja makan menjadi tempat bercengkrama keluarga ku setiap hari. Pagi hari sebelum beraktivitas, aku selalu mendapatkan wejangan apapun itu yang berbau adat. Agak muak dengan semua peraturan yang diberikan Mbahbuyut. Melakukan apapun harus berhati-hati tidak boleh sembarangan. Bahkan ketika aku makan, ketika nasi satu biji jatuh harus diambil dari tangan kiri lalu dimakan. Katanya, kalau diambil dengan tangan kiri maka kapanpun kita butuh bantuan bakal banyak orang yang menemani kita. Mitosnya seperti itu...

Entahlah antara percaya dan tidak percaya. Kalaupun menentang tindakanku, aku tidak akan mengikuti aturan itu.

"Asti..."

"Dalem..."

"Kowe Iki anak wedok. Dijogo ya nduk kahormatane. Cah wedok iku sing anggun. Olehmu mangan ora usah dikecap nganti ono suarane. Ora apik, Nduk." Ujar Mbahbuyut sembari menjahit bajunya di kursi samping meja makan.

"Cekk hmm. Engge ndoro ayuu..." Asti pun melanjutkan makannya sambil berhati-hati agar tidak bersuara saat mengunyah. Panjang urusanya kalau berhubungan dengan Mbahbuyut.
Aku sebenarnya bosan. Selalu dituntut untuk mengikuti aturan Jawa. Kadang aturanya tidak dimasuk akal. Aku yang anak seni, memang menantang semua itu. Seni itu bebas tidak bisa diatur. Itu aku. Berbeda dengan adikku Gendhis. Dia selalu nurut akan perintah yang diberikan Mbahbuyut.

Huh.. keluargaku tentram tapi tidak dengan aturan-aturan di dalamnya.
Kring kring kring
Tiba-tiba handphone Asti berbunyi
Asti bergegas ke kamar untuk mengangkat telfon.

"Hallo..."

"----Iya aku akan balik hari ini. Lagian aku di rumah bosan. Banyak sekali aturan di rumah. Kamu tungguin aku ya. Mmmm ada dia nggak? Kalau ada dia aku jadi semangat nih hehehe. ----Hah? beneran? Demi apa?" Reflek Asti teriak kencang. Raut wajahnya yang memerah diselubungi rasa bahagia.

"Kenapa Asti?" Tanya Biyung dari meja makan.

"Gak kenapa-napa, Biyung. ----duh jangan keras-keras ya, kalau Biyung tahu gak bakal dibolehin berangkat aku. -----Oke aku balik nanti sore. Bawa baju teater ya. Ok ok. See you."

"Biyung, Asti mau balik nanti sore. Ada acara mendadak di kampus. Boleh ya?" Dia duduk disebelah Biyung sambil memasang muka melas agar mendapat izin.

Sebenarnya selama seminggu ini adalah hari tenang untuk mempersiapkan ujian tengah semester di Minggu depannya. Baru 3 hari di rumah, Asti sudah mau balik lagi.

"Bener? Katanya libur seminggu."
"Ihhh Biyung, seminggu itu bukan libur tapi hari tenang. Bergantung dari fakultasnya. Selama satu Minggu itu mahasiswa diberi waktu untuk mempersiapkan ujian di Minggu depannya. Ini acara organisasi di kampus, Biyung. Wajib, jadi Asti harus ikut. Boleh ya, Yung..." Mencoba membujuk Biyung.

"Iya iya... Izin dulu ke Bapak ya..."

"Yeay, Ok siap Biyung. Muwah."

Aku langsung lari mencari Bapak di depan rumah. "Pak, Bapak, Bapak dimana?"

Suara dari dalam rumah membuat Bapak menaruh gelasnya kembali di atas meja yang hendak diminum. "Bapak ada di luar, Asti. Sini, ada apa?"

Huh, huh, huh... Napas Asti tersengal-sengal. Asti pun langsung duduk di bawah di samping kursi Bapak. Dipegangnya tangan bapak sambil memasang muka melas.
"Pak, huh huh huh... Asti mau balik nanti sore karena ada acara di kampus, Pak. Asti habis dapat telfon dari teman Asti di kampus. Boleh ya, Pak?"

"Mmm iya gak papa. Kalau urusan kampus, bapak selalu ngizinin asal itu baik, Nak. Nanti bapak antar ke stasiun, ya. Naik kereta api aja. Sementara jangan bawa sepeda motor."

"Beneran, Pak?" Bapak pun mengangguk. "Siap, Pak. Kalau gitu Asti mau liat tiket kereta dulu sembari siap-siap."

_____
Ku persiapkan barang-barang yang akan ku bawa nanti. Ku taruh 1 kaos teater dan jumpsuit sebagai setelannya. Perlengkapan make up ku taruh di tepak make up lalu ku masukkan ke dalam tas ransel.

"Mmm kayaknya ada yang lupa. Apa ya...?" Dia duduk di ranjang sambil mengingat apa yang perlu dibawa lagi.

"Haduh," dia menepuk jidatnya.

"Obatku dimana ya? Kalau Gendhis tahu, mati aku. Habis sama bapak."
Aku terus mencari di dalam lemari, rak, di laci meja, bahkan di kolong ranjang namun tidak menemukan obat tersebut. Obat itu selalu kubawa kemanapun aku pergi. Sudah menjadi kebiasaanku setiap hari mengonsumsi obat.

Aku harus mencari kemana? Seingatku, kemarin aku meminumnya di dalam kamar. Lalu, dimana sekarang? Arghhhhhh... Gendhis, iya Gendhis yang membersihkan kamar tadi pagi. Aku akan tanya ke dia.

"Kak..." Gendhis masuk ke dalam kamar.

Kebetulan aku belum keluar kamar. "Gen---"

"Kamu mencari ini, Kan?" Sahut Gendhis saat memotong omonganku. Tangan Gendhis mengangkat obat yang aku cari-cari dari tadi.
Suasana menjadi tegang. Tidak ada satu katapun yang terlontarkan setelah itu. Bahkan aku bingung mau menjawab apa. Diluar kamarpun tidak ada suara sama sekali. Sunyi, entah kemana orang-orang diluar sana. Sunyinya rumah menjadikan perbincanganku dan Gendhis terdengar memantul di dalam rumah.

"Aku gak boleh kelihatan tegang. Apalagi gugup. Biar Gendhis tidak curiga kepadaku," batinku.

"Iya, aku mencari itu dari tadi. Ternyata kamu bawa? Sini obatnya!" Aku ambil  obat itu dari tangan Gendhis namun langsung ditepisnya.

"Jawab dulu, ini obat apa, Kak? Sejak kapan kakak mengonsumsi obat ini?" Dia berjalan ke arahku.
Gendhis mendesakku supaya aku mengaku. Namun, aku tidak membiarkan hal itu terjadi. Rasa takutku mulai muncul. Aku berharap bahwa Gendhis tidak menyadari tingkah anehku. Aku mencoba mengalihkan ekspresi wajahku dengan berpura-pura mengecek tasku yang sebenarnya tidak perlu lagi untuk dilakukan. Saat aku memasukkan charger dan buku catatanku. Tiba-tiba Gendhis mengarahkan sesuatu kepadaku. Sontak aku terkejut melihat benda yang dipegangnya. Bahkan benda yang dipegangnya itu bukan baru. Tubuhku benar-benar mematung dan melongo. Batinku "darimana dia mendapatkan benda itu? Sudah kusembunyikan dengan rapat didalam kresek hitam dan kuletakkan didalam saku tas bagian paling dalam. Aku lupa kalau benda itu belum sempat aku pindahkan saat di kos.

"Mati aku," sambil memukul dahinya. Suara itu terdengar jelas di telinga Gendhis.

"Apa, Kak? Mati? Ada apa dengan benda ini? Ini punya kamu?" Tanya Gendhis penasaran.

"Ayo Kak jawab! Baru tadi pagi Mbahbuyut bilang bahwa sebagai anak perempuan harus menjaga kehormatannya. Lantas inikah yang disebut dengan kerhormatan?" Gendhis semakin mendekat ke arahku. Wajahnya sangat dekat dengan wajahku. Dia terus mendesakku untuk menjawab semua pertanyaannya. Pertanyaan yang sebenarnya bagiku tidak perlu jawaban, karena jawaban itu pasti menyakitkan terutama pada keluarga. Mukaku ditaruh mana kalau Biyung dan bapak tahu termasuk Mbahbuyut.

"Jawab, Kak?.atau aku kasih ke Biyung benda ini?"

"Jangan Gendhis!!" Aku teriak dengan emosi memuncak.

"Gak usah ikut campur dengan urusanku. Sini kembalikan barang-barangku."

Masih menjadi pertanyaan Gendhis terkait benda yang ditemukannya. Meskipun pertengkaran sudah usai, Gendhis tidak melupakan apa yang telah terjadi hari ini.

[2]

02 November 2024

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AmbisiusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang