.bab1: bentukkasihsayang

10 0 0
                                    




-


Cahaya matahari sore menyinari trotoar di sepanjang jalan Victoria Street, di mana Dissa sedang duduk menghadap jalan yang dipenuhi dengan pasangan lansia atau orang-orang yang sekedar berlalu lalang sehabis pulang kerja atau kuliah.

Sambil menunggu kedatangan Ayah, Dissa mengingat-ingat kembali saat pertama kali ia ingin bermain basket. Hari itu, Ayah membelikan bola basket dan dengan bandelnya ia mainkan bola tersebut di jalanan ini. Masih teringat jelas bagaimana bola basketnya dulu menggelinding di sepanjang Victoria Street dan menyebabkan sedikit keributan.

Dulu, itu adalah insiden yang memalukan. Ayah sampai harus berkali-kali meminta maaf kepada orang-orang di sepanjang Victoria Street. Sekarang, insiden tersebut sudah berubah menjadi memori yang lucu untuk diingat. Dissa bersyukur, Ayah tidak pernah membesar-besarkan sikapnya itu.

Dissa percaya, di dunia ini hanya Ayah yang ia punya. Tidak ada siapapun selain Ayah. Dissa tidak pernah tau dan tidak pernah mau mencari tau, kenapa hanya ada ia dan Ayah di hidupnya. Menurutnya yang terpenting kasih dan sayang Ayah tidak pernah kurang untuknya. Itu sudah lebih dari cukup.

"Dissa!"

Dissa tahu betul itu suara siapa. Ia langsung menoleh ke sumber suara, berdiri dan berlari kecil menghampiri Froi. Tas di bahunya bergerak ke kanan kiri, menimbulkan suara krincing dari gantungan yang ia pasang di resleting tasnya.

"Ayah! Ayo, yah. Dissa udah lapar banget."

"Let's go!!"

Senyum mengembang di bibirnya, Dissa menarik lengan Froi dengan tidak sabaran menuju restaurant favorite keduanya.

Tidak ada yang lebih membahagiakan menurut Froi saat ini, selain bisa menghabisakan waktu dengan Dissa. Juga, Victoria Street sore ini terasa lebih hangat dari pada biasanya dan Froi merasa, langit Edinburgh selalu mendukungnya untuk melihat Dissa tersenyum seperti ini. Ah, Froi harus sering-sering bersyukur karena itu.








_______










"Ma..! Jaket yang biasa Sidda pakai dimana, ya?"

Itu Sidda. Bungsu yang selalu menjadi target utama limpahan perhatian semua orang di rumah. Rue, Iya dan anak-anaknya yang sedang sarapan langsung mengalihkan fokusnya memperhatikan Sidda.

Sidda berlari kecil menuruni tangga, menenteng sepasang kaus kakinya yang berbeda warna. Sesekali ia berhenti untuk memakai kaus kakinya sambil berpegangan pada reiling tangga, dan berakhir di meja makan berhadapan dengan Iya. Sepertinya hari ini adalah agendanya datang terlambat ke sekolah.

"Lagi dicuci. Pakai yang lain dulu ya, sayang."

"Yhaa, oke deh. Sidda berangkat dulu, Ma! Pa!"

Sidda cukup kecewa mengetahui jaket kesayangannya itu dicuci dihari dia bersekolah, tapi ia tidak punya cukup waktu untuk itu. Ini sudah sangat siang dan ia tidak mau melompat pagar untuk masuk kesekolah karena menghindari anak OSIS.

Sidda mengambil dua lembar roti yang sudah diolesi selai oleh Iya dan berlalu begitu saja dari meja makan. 

"Ehhh, cil!! Lo sekolah gak pakai tas?", tanya Helga menginterupsi langkah Sidda.

"Oh, iya! Lupa Abang! Tasnya ketinggalan di kamar. Mas Kian, tunggu bentar! Sidda ambil tas dulu." 

Sidda yang tadinya sudah melewati ruang tengah dengan berlari kecil, berputar balik kembali ke kamarnya sambil tetap memakan dua lembar rotinya yang ia jadikan satu. Helga terkekeh melihat kelakuan adiknya itu. Sementara Kian hanya menghela napas, melihat semua adegan itu di samping Iya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: 4 days ago ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

- 01 stepbystepWhere stories live. Discover now