Langit mulai gelap seperti akan runtuh. Gemuruh mulai menggema seakan tau kerisuan hatiku saat ini. Rasa dingin menjalar hingga ke dalam tulang. Entah memang hawa yang sedang dingin karna mau hujan, atau memang aku yang panas dingin karna akan disidang oleh om Frans.
Jarak ke rumah smakin dekat. Kucoba menguatkan hati sampai akhirnya motor berhenti. Risty hanya mengantarkanku hingga depan rumah lalu segera pamit karna hujan sepertinya akan turun . Tidak ada siapa-siapa di teras. Aku gugup, masuk kedalam rumah. terdengar suara mama dan om Frans di ruang tengah. Semua seperti tak ada apa-apa ketika aku mengucap salam. Ya! Semua baik-baik saja, Dita. Jangan takut!
Aku beruntung kali ini. Dan lebih beruntungnya, ponsel om Frans dan mama ada diruang tamu. Segera kuganti nomor ponselku dengan nomor Gilang di ponsel mereka. Setelah itu langsung masuk kamar. Lega! Nggak terjadi apa-apa denganku hari ini. Ketakutan kini berubah menjadi rindu. Ketika teringat lagi sosok yang sepanjang jalan memegang tangan ini. Tanganku yang dingin, mendapat kehangatan darinya. Dia benar-benar seperti angin yang menyejukkanku dengan belaiannya.
Kurebahkan tubuh ke kasur. Kejadian pagi ini berasa diputar kembali di langit-langit kamar. Bibir ini tak berhenti tersenyum membayangkannya. Hingga HP berbunyi menandakan telepon masuk. Telepon siapa lagi kalau bukan darinya.
"Dita udah sampai?" Terdengar suaranya di seberang sana.
"Udah Gilang, baru aja. Gilang dimana? Lagi ngapain?"
"Di kamar, lagi merindukan Dita."
Aku tersenyum. Aah Gilang. Dita juga rindu. Rindu yang begitu menggebu-gebu walaupun kita baru saja ketemu. Andai menikah itu segampang jadian. Ingin rasanya nikah aja. Biar kita hidup tenang, berdua, bahagia selamanya. Nggak ada si Frans lagi dalam hidupku.
Mudah-mudahan suatu hari nanti impianku dinikahi Gilang ini terjadi."Dita, kok diam aja?" katanya lagi.
"Iya Gilang, Dita denger kok."
"Dita kangen nggak?"
"Ya kangenlah, Gilang. Kalau bisa, kita sama-sama terus. Nggak pisah-pisah lagi."
"Kalau gitu kita nikah aja kalau udah lulus." Ternyata dia juga punya fikiran yang sama sepertiku.
"Ya nggak semudah itu, orang tua kita pasti maunya kita kuliah dulu." Aku sok jual mahal.
"Iya Dita, Gilang bercanda. Pokoknya delapan tahun lagi ya. Dita sabar yaa."
"Iya Gilang."
"Kita lanjut SMS ya."
"Ok!"
Telepon terputus tapi bayangnya masih jelas di langit-langit kamar.
***
Sebulan sudah aku dan Gilang nggak ketemu. Rasanya seperi pecandu yang kehabisan obat. Pikiran terus ingin ketemu dan ketemu. Aku nggak bisa lagi konsentrasi dengan apapun. Mungkin inilah yang dikatakan mabuk cinta. Telponan saja nggak cukup walaupun akhir-akhir ini durasi kita teleponan cukup lama. Hingga Gilang sampai dihukum sama ibunya karna ketahuan sering make telepon rumah. Aku juga sering curi-curi waktu ke wartel tetangga buat nelepon dia karna dirumahku telepon di gembok. Tapi tetap aja rindu membuncah mengisi setiap ruang di dada. Semua yang pernah jatuh cinta pasti pernah di posisiku saat ini.
Hari ini mama ada tugas keluar kota. Selesai sholat subuh mama berangkat dan pulang tengah malam ataupun nginap. Kata mama nanti liat kondisinya dulu gimana. Yeyeye aku menahan kaki agar nggak loncat-loncat ketika mendengar berita itu. Kuhitung detik demi detik hingga akhirnya mama pergi. Kulambaikan tangan dengan semamgat melepas kepergian mama. Yes, yes! Tinggal sekarang gimana cara ngibulin om Frans agar dia bolehin aku pulang lebih lama hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenangan Terindah (Kisah Tahun 2006)
Teen FictionDia tak tahu perihnya hari-hari yang kulalui. Siksaan jiwa raga terkurung di dunia yang sempit ini. Berteman tangan kasar seorang ayah tiri dengan jambakan pukulan dan tamparan. Entah dari mana dia tiba dan memasuki duniaku. Kini diapun terperangkap...