0.4 "Cantik..."

3 2 0
                                        

Menyusuri trotoar jalan Malioboro dengan ditemani suasana sore yang syahdu. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, dan para wisatawan yang berlalu lalang semakin jelas dalam sorotan cahaya senja.

Mengenakan kaos hitam polos yang sedikit lusuh dan celana jeans yang sudah mulai pudar warnanya. Tak lupa juga sebuah tas yang tersampir di pundak kirinya.

Pemuda dengan rambut hitamnya yang tampak berantakan dan sedikit basah karena keringat, juga beberapa debu yang tertinggal di wajahnya itu berjalan pelan sembari menikmati hiruk-pikuk jalanan yang seakan tak pernah sepi pengunjung.

Sibuk menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu lalu tanpa istirahat langsung pergi bekerja hingga menjelang malam, tak ada yang lebih menyenangkan bagi Joko selain menikmati keindahan kota kelahirannya itu. Meskipun dirinya sempat meragukan apa arti kehidupannya sendiri, tapi kini dia yakin bahwa mungkin ini memang jalan hidup terbaik untuk dirinya.

Bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga keperluan sekolah, Joko tak punya pilihan lain selain harus bekerja. Seorang gelandangan sepertinya yang bahkan tidak punya apa-apa akan langsung terusir dari masyarakat jika hanya bisa bermalas-malasan.

Tapi... Semua itu sebelum dirinya bertemu dengan Vyros. Sekelompok orang yang kini telah berubah menjadi sosok keluarga baginya.

Seakan sebuah kebetulan, matanya secara tidak langsung mengalihkan pandangan menatap sebuah tusuk konde yang terpajang di italase toko aksesoris. Tusuk konde sederhana dengan hiasan bunga Aster.

Mengingatkannya kepada seseorang, hingga tanpa sadar sorot matanya melembut dengan senyum tipis yang terukir di bibirnya.

"Cantik... Kira-kira kau akan menyukainya atau tidak, ya?" gumamnya pelan entah ditunjukkan pada siapa.

___

Di sisi jalan yang lain, jauh dari tempat Joko berada. Sebuah bengkel yang mulai tampak sepi dan hanya menyisakan empat orang saja.

Feitan yang sibuk membantu Samudra memperbaiki motor milik salah satu kliennya. Keduanya tampak fokus dengan kegiatan masing-masing agar lebih cepat selesai, karena sepeda inilah yang terakhir hari ini.

Beberapa waktu yang lalu dengan menampilkan senyum manis yang terlihat menyeramkan, Samudra mengusir Sagara dari bengkelnya karena tingkah menyebalkan remaja itu yang suka sekali memancing emosi orang lain.

Dibalas dengan tawa pelan. "Maaf, maaf. Karena aku juga ada urusan keluarga, jadi aku pulang duluan," ucapnya sambil berlari pergi setelah melemparkan ucapan permintaan maaf  yang bahkan anak kecil pun tahu bahwa itu tidak tulus, Sagara langsung pergi dengan cepat. Jaga-jaga jika wakil ketua geng nya itu tiba-tiba akan melemparkan kunci inggris padanya.

Samudra menghela nafas berat dengan gelengan kepala pelan. Anggota Vyros yang satu itu senang sekali membuat masalah. Lalu berakhir dirinya dan dengan bantuan Feitan segera menyelesaikan pekerjaan yang tertunda sebelumnya.

Beralih ke arah luar bengkel, tepatnya di teras, duduk seorang pemuda yang tak bisa jauh dari batang nikotin kesayangannya dan seorang gadis yang bahkan tak membuka suara sedikit pun. Pandangannya terkunci pada benda persegi di tangannya.

"Bang, aku pinjam lengannya bentar ya," ucap Feira tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel di tangan kanannya. Tidak menunggu tanggapan dari sang pemilik lengan, langsung saja ia sandarkan tubuhnya pada Gabriel yang duduk di sebelahnya dan meletakkan kepalanya yang bahkan tidak mencapai pundak sang adam, hanya sebatas lengan atasnya saja.

Tidak ada protesan atau dorongan tidak suka dari sang pemuda. Dirinya hanya diam, menganggkat sebelah alisnya tanpa mengatakan apapun. Menyesap rokoknya untuk yang terakhir kalinya sebelum menjatuhkan putungnya dan menginjaknya untuk memadamkan api yang masih menyala di ujung batang itu, bersamaan dengan Feira yang mematikan layar ponselnya.

Hening. Suasana yang tidak biasa bagi keduanya, dan Gabriel tentu menyadari hal itu. Tapi walaupun begitu tak ada niatan untuk mengakhiri keterdiaman ini.

Seakan tak mampu diam terlalu lama, Feira memecah kelenggangan yang mulai mengurung keduanya. "Abang gak mau cari pacar gitu?" ucapnya asal dengan wajah sedikit melamun.

Melirik wajah gadis yang bersandar padanya dengan sorot mata malas. Membuka sedikit mulutnya seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi nyatanya tak ada yang keluar dari bibirnya sebelum ia kembali mengalihkan pandangannya ke arah depan.

Sudah bukan hal yang mengejutkan jika Gabriel menghiraukan pertanyaan apapun yang berhubungan dengan kisah cintanya. Tahu hal itu, tentu sang gadis tak mempermasalahkannya. Bukannya berhenti, Feira lebih memilih menggunakan keterdiaman Gabriel sebagai kesempatannya untuk mencurahkan semua isi hatinya dan menceritakan semua hal yang mengganggu pikirannya.

Mulai dari tingkah lucu teman-temannya, kejadian apa saja yang ia alami hari ini. Atau mungkin topik random dan cerita-cerita yang membuatnya sesekali tertawa hanya karena menceritakannya. Tak ayal sudut bibir Gabriel terangkat setiap kali mendengarkan lelucon yang terucap dari bibir ranum sang gadis.

Tawa pelan sesekali terdengar beriringan dengan tawa sang pembuat lelucon.

"Jangan suka nyari masalah sama orang tua, nanti karma nya gak bisa tinggi loh," celetuk Gabriel sambil tertawa pelan.

Feira memasang wajah kesal lalu menjauhkan tubuhnya yang sebelumnya bersandar pada sang taruna seraya mendorong lengan kekar itu kasar. "Bacot! Mentang-mentang tinggi."

Sang dara menyilangkan tangannya di depan dada. "Orang tinggi itu karena nyerap dosanya orang pendek!" ujarnya sambil mendengus pelan.

Mendengar balasan itu, tawa Gabriel kembali pecah. "Berarti dosa mu itu kebanyakan sampai aku bisa setinggi ini."

"Ngawur ya!" Bukan lagi mendorong, tapi gadis itu kini memukul lengan Gabriel dengan cukup keras, namun tak menimbulkan rasa sakit sama sekali untuk sang pemilik lengan.

Disaat yang bersamaan, Feitan dan Samudra diam-diam tersenyum tipis saat mendengar keributan di depan bengkel tanpa menghentikan aktivitas yang sedang mereka lakukan.





Pesan yang belum dibaca :
Seperti hujan di tengah kemarau, datang membawa apa yang dulu tak berani kubayangkan akan bisa kudapatkan. Tapi kini... Sungguh, rasanya aku sangat beruntung.

Senin, 04 November 2024
14.22

Ruang Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang