Suara deburan ombak yang sesekali terdengar bersama dengan sang bulan yang memperlihatkan wujud penuhnya menyinari cakrawala kala itu. Menciptakan irama yang menenangkan walau terdengar berisik.
Duduk tak jauh dari bibir pantai, sosok dua jejaka yang sedang menatap pantulan cahaya bulan di atas bentangan air lautan. Mereka ialah Samudra dan Gabriel.
Seperti namanya, Samudra, pemuda dengan rambut yang sering terlihat menutupi dahinya itu tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, tatapannya tak pernah lepas dari lautan. Beberapa helai rambutnya tersibak kebelangan karena hembusan angin.
Sedangkan pemuda di sebelahnya, Gabriel, hanya diam sambil menikmati minuman favoritnya. Tangan kanannya mengarahkan kamera ponsel yang sedari tadi ia genggam untuk menangkap gambaran pemandangan alam yang kala itu terlihat begitu indah, di tambah dengan butir-butir bintang yang juga ikut menampakkan diri.
Usai mengabadikan momen itu di ponselnya, Gabriel mengirimnya kepada seseorang dengan tulisan, 'Bgs gak?' tepat di bawah foto. Jangan lupa senyum tipis di bibirnya saat membayangkan wajah kagum dari sang penerima pesan saat melihat hasil jepretannya.
Lamunannya segera kabur setelah melihat sebuah hansaplast yang tiba-tiba saja tersodor di depannya. Menolehkan wajahnya ke arah sang pelaku, ia angkat sebelah alisnya sambil menyimpak ponselnya ke saku jaketnya kembali.
Mengerti kebingungan sahabatnya itu, Samudra menjawab dengan senyum kecil. "Sudut bibirmu sobek kalau gak sadar."
Sontak saja Gabriel meraba sudut bibirnya yang sedikit mengeluarkan darah, tak ada ringisan kesakitan yang terlihat dari wajah pemuda itu. Ia hanya mengangguk singkat sebelum menerima pemberian Samudra walaupun tak langsung memakainya. "Makasih."
Sebelum keduanya sampai di pantai ini, Samudra tiba-tiba saja menghampiri Gabriel yang sedang menjalani rutinitas malamnya, yaitu berkelahi. Hobi yang tidak bisa temannya itu hilangkan selain merokok dan balapan.
Menunggu sampai temannya itu puas memukuli lawan-lawannya sebelum ia langsung mengajaknya tanpa memeriknya luka yang didapat Gabriel selama pertarungan.
Walau tahu bahwa itu bukanlah hal yang baik, Samudra tetap diam. Tidak ada satupun teguran yang keluar dari bibirnya, karena baginya itulah cara Gabriel meluapkan apa yang ia rasakan.
"Makin kesini, yang lain makin niru kelakuanmu," ujar Samudra, memecah keheningan dengan memulai topik pembicaraan.
Dengusan pelan Gabriel keluarkan, memang benar apa yang dikatakan wakil gengnya itu, dan dirinya tentu saja mengakui hal itu. "Hiraukan saja, selama nggak ada yang pakai sentaja tajam."
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Sepertinya pribahasa itu tidak hanya untuk menggambarkan perilaku anak dan orang tuanya, tapi juga cocok untuk menggambarakn bagaimana kelakuan anak-anak Vyros yang tak jauh berbeda dengan ketuanya.
Kebiasaan Gabriel yang suka berkelahi sejak awal sepertinya menjadi contoh bagi anggotanya, bagaikan seorang anak yang mengikuti kebiasaan ayahnya.
"Sebentar lagi ulangan tengah semester, kan? Anak-anak yang lain pasti lagi sibuk nyiapin materi." Merogoh saku celananya, perlahan alisnya berkerut saat merasakan benda yang ia cari tidak ketemu tapi malah merasakan benda lain berada di sakunya. Mengambil benda itu, Samudra menatap cengo ke arah kunci pas ring yang ternyata tak sengata terbawa.
Menatap kelakuan sahabatnya dari sudut matanya, sebelum memutar mata malas sambil mencibir pelan. "Dari wajahnya aja udah gak meyakinkan."
Tawa Samudra pecah mendengar cibiran yang dilontarkan pemuda di sebelahnya. "Mungkin aja gitu, tiba-tiba mereka dapat hidayah?" Tawanya semakin keras karena lelucon yang ia lontarkan sendiri.
"Menurutmu apa yang akan lakukan oleh Eira tahun ini?" Gabriel menyodorkan sebatang rokok beserta koreknya kepada Samudra.
Menyempatkan diri untuk menyalakan rokok sebentar sebelum dirinya menjawab. "Gak kerasa kita cepet tua juga ya..." Samudra menghembuskan asap nikotin bersama dengan helaan nafas pelan seolah mendramatiskan suasana.
"Baru 22, nyet," sahut Gabriel dengan wajah malas.
"Tapi rasanya kayak udah tua..," Samudra menjela kalimatnya dengan tawa kecil. Seputar ingatan terlintas di pikurannya kala ia menerawan bulan dengan tatapan nostalgia. "Vyros dibentuk saat kita masih SMA, dan sampai sekarang masih utuh tanpa ada satupun yang tertinggal."
"5 tahun," sahutan Gabriel setelah mengingat-ingat kapan geng nya ini terbentuk pertama kalinya.
Mengangguk singkat, rasanya rasa rindu menyeruak dalam hati Samudra. "Lama juga ternyata..."
"Kuharap semua ini tak akan pernah berakhir," lanjutnya
"Aku tidak akan membiarkan rumah ini berakhir. Walaupun mereka semua menjengkal, rupa-rupa kayak monyet, tapi mereka tetap keluargaku," ucap Gabriel sembari bangkit dari duduknya. Mengibaskan tangannya pelan untuk membersihkan pasir-pasir yang menempel di bajunya.
"Kita bisa melakukannya bersama-sama."
"Kita bisa melakukannya bersama-sama."
Ucapan Samudra seakan tumpang tindih dengan suara seseorang yang berputar di ingatannya bagaikan kaset lama. Bahkan ekspresi yang mereka keluarkan pun sama, tersenyum dengan binar mata keyakinan.
Gabriel mendengus sebelum tertawa remeh. "Kau menirunya," ujarnya dengan sedikit nada ejekan yang menuai tawa dari sang lawan bicara.
"Menurutku dia tetap sahabat yang hebat sampai akhir, nggak ada salahnya kalau aku pingin kelihatan keren kayak dia, kan?"
Tanpa bisa menyembunyikannya, Gabriel tersenyum meanggapi balasan sahabatnya. "Terserah."
Pesan yang belum dibaca :
Biarlah semua kenangan itu terkunci dengan indah dan mari melangkah bersamaku, kita hadapi dengan senyum yang tak akan pudar oleh waktu.Senin, 18 November 2024.
14.00

KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Tanpa Nama
Teen Fiction"Nanti, akan ada saatnya semua cuma jadi kenangan. Dan bersama kalian, itu kenangan paling indah yang ku punya." Dibawah langit yang sama, tujuh remaja, tujuh kehidupan yang berbeda, juga tujuh takdir tak terduga yang berakhir menyatukan kisah merek...