Author povMega syatra Meijer, nama yang telah identik dengan dunia kesejahteraan sosial. Wanita dewasa berumur 49 tahun itu sedang duduk di ruang tamu yang nyaman, matanya tertuju pada layar televisi. Cahaya matahari sore yang hangat menerobos masuk melalui jendela, memberikan cahaya lembut pada perabotan yang sudah usang dan rak-rak yang dipenuhi foto anak-anak yang telah ia dedikasikan hidupnya untuk mereka.
Cahaya televisi berpendar-pendar, menampilkan segmen berita walikota yang baru terpilih karena telah memberikan sumbangan yang cukup besar kepada panti asuhan demi meningkatkan citra publiknya.
Mega tidak dapat menahan rasa jengkel saat melihat berita tersebut. Tampaknya bagi sebagian orang, beramal hanyalah sarana untuk mencapai tujuan, catatan untuk mendongkrak reputasi mereka, daripada benar-benar membantu kepada yang membutuhkan. Dia menggeleng kepalanya, menyingkirkan pikiran-pikiran itu sambil fokus pada niatnya yang hanya penasaran untuk menonton bukan mengomentari seseorang walaupun Mega tahu kebenaran ini tak lebih dari sekedar langkah terencana untuk mendongkrak citra publiknya, sekadar jembatan untuk mereka meraihnya, sekadar kedok untuk menyembunyikan pengabaian dan ketidakpedulian yang telah menjangkiti panti asuhan di kota ini selama bertahun-tahun.
Mega telah melihat semua sebelumnya - janji-janji kosong, kemegahan politik, dan ketidakpedulian yang nyata terhadap anak-anak yang paling membutuhkan dukungan. Dia telah membangun tempat perlindungannya sendiri, Panti Asuhan Meijer Bhakti, dari awal, menggunakan tabungannya sendiri dan kemurahan hati beberapa donatur dan aparat setempat yang masih memiliki kejujuran.
Suara pintu depan terbuka, menarik perhatiannya dan menoleh untuk melihat seorang gadis muda dengan perawakan tomboy melangkah masuk kedalam ruangan.
Ekspresi gadis itu menunjukkan kekesalan saat ia menjatuhkan diri di sofa, matanya mengingatkan pada televisi. Tanpa mengucap sepatah kata pun, Dia meraih remote dan mulai mengganti saluran, sepertinya mencari sesuatu yang lebih sesuai dengan keinginannya.
Mega terkejut dengan perilaku gadis itu yang tidak sopan, dan secara tidak langsung ia mengulurkan tangan untuk menampar bahunya pelan.
"Zivan, kamu ga sopan."
Gadis itu mendengus samar. "Aku pengen cari yang lebih bagus bu, daripada bapak-bapak yang hobinya bohong," balasnya, nadanya tidak menunjukkan penyesalan.
Sebelum Mega sempat menjawab, suara pintu depan terbuka sekali lagi menarik perhatiannya. Kali ini, seorang gadis yang pembawaannya lebih tenang dan anggun memasuki ruangan, wajahnya berseri-seri dengan senyum hangat. Dia berjalan ke sofa dan duduk di sebelah Mega.
"Kamu darimana aja Zel?" tanya Mega.
Gadis yang hendak membuka toples makanan itu kembali menaruhnya dan memfokuskan diri menjawab pertanyaan. "aku baru beres bantuin kak mei."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sister's Of The Orhapanage
Teen Fiction|FOLLOW DULU BARU BACA| *** Di koridor panti asuhan yang remang-remang, suara derit langkah kaki bergema di lantai kayu. Tiga gadis remaja, yang dikenal karena ikatan mereka yang tak terpisahkan, menyelinap menuju dapur, sambil tertawa pelan di sepa...