08 - The Agreement

128 13 4
                                    

Tidak ada lagi waktu luang yang tersisa beberapa hari terakhir. Jevon sibuk menata dan merapikan rumah Dara. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Tristan. Bahkan saat hari keberangkatannya, mereka hanya janji bertemu di bandara. Dara benar-benar meyakinkannya untuk tidak datang ke rumah.

Bagian lucunya adalah saat Tristan tiba-tiba menghubunginya beberapa hari yang lalu. Jevon sedikit terkejut. Saat itu ia masih berada di tempat kerja.

"Halo, Jev, apa kabar?"

"Halo, baik aja, Bang. Kenapa nih, tumben telpon," sahut Jevon sambil sesekali berdeham untuk meredam suaranya bergetar. Ada rasa takut yang timbul kalau saja Tristan ternyata telah mengetahui kebenarannya.

Tristan kemudian menjelaskan kepindahannya ke singapura tanpa basa-basi dan tanpa bumbu kesombongan ciri khas Tristan. Jevon berusaha bereaksi seakan-akan ia baru saja mengetahuinya.

"Abang bakal kasih kontak lu ke Dara, jaga-jaga aja kalau ada apa-apa, dia bisa ngehubungin lu," ucap Tristan dengan santai. Jevon merasa lega dan mengganjal di saat yang bersamaan. Lega karena ternyata ketakutannya tidak terbukti tapi mengganjal karena baru saja ia merasa seperti kena teguran karena membohongi keluarga sendiri.

"Oke, terserah Abang aja. By the way, good luck buat gelar masternya."

"Hahaha, lu sendiri kapan lulus?"

"Hmm, gue masih ngumpulin biaya buat bayar semester, lu tahu sendiri kan gimana kondisi keluarga gue, Bang."

"Iya juga, good luck juga buat lu. Maaf gue nggak bisa bantu banyak."

"Santai aja kali. Ngapain minta maaf kan bukan salah lu, Bang." Jevon menjawab dengan nada bercanda. Lalu hatinya berbisik, harusnya gue yang minta maaf.

Setelah itu Tristan memutus percakapan mereka dengan mengucap perpisahan. Tristan sempat menawarinya untuk bertemu di bandara. Namun Jevon menolak dengan alasan pekerjaan. Ia tidak mungkin datang dan bertatap muka dengan Dara dan Tristan di saat yang bersamaan, bukan?

Seminggu pun berlalu. Tidak banyak yang dikerjakan Jevon di rumah. Sebab sebagian Dara juga masih mengerjakannya sendiri seperti mencuci pakaian dan memasak. Jevon lebih memilih mengerjakan hal-hal lain seperti membersihkan kebun, menyetrika, dan membersihkan dalam rumah. Mereka berlalu lalang tanpa sedikitpun berbicara. Seakan-akan mereka berada dalam gelembung masing-masing.

Sampai akhirnya saat Jevon pulang dari shift malamnya, Dara masih terjaga di ruang tengah. Tempat ia biasa menonton televisi.

"Kenapa belum tidur?" tegur Jevon sambil merapikan sepatunya. Dara lalu menegakkan punggungnya. Saat duduk seperti itu, Jevon mulai bisa melihat perut Dara menyembul dari kaosnya.

"Aku mau bicara sama kamu," ucap Dara sambil menekan tombol remote untuk mematikan televisi. Ia menepuk tempat kosong di sampingnya. Jevon pun duduk di tempat itu. Dara sekilas tampak ragu untuk mulai berbicara. Namun, Jevon dengan sabar menunggunya.

"Setelah kupikir-pikir, aku setuju sama kamu. Daripada aku serahkan anak ini ke orang lain, lebih baik dia sama kamu, ayahnya," ucap Dara terdengar pelan.

Jevon langsung mengangguk. "Oke, kalau itu yang terbaik buat kamu. Tapi kamu nggak jadi pergi, kan?"

Giliran Dara yang mengangguk. "Ya, aku akan di sini, sampai anak ini lahir."

"Good. Sesuai janjiku, aku bakal di sini buat urus kamu. Mulai sekarang aku juga kerja double shift, jadi penghasilanku lebih banyak dari sebelumnya," ucap Jevon kemudian ia mengeluarkan amplop uang dari dalam tasnya. Ia menyerahkan amplop itu pada Dara.

"Ini buat kebutuhan kamu dan penggantian biaya selama aku tinggal di sini. Aku cuman ambil sedikit buat belanja bahan makanan tadi."

Dara mendorong amplop itu dengan panik. "Nggak perlu, Jev. Uang aku masih ada kok, aku juga masih kerja sampai akhir bulan nanti."

Baby On My Way [🔞21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang