BAB 2

18 6 0
                                    

Aku duduk di katil, berusaha menenangkan diri setelah pertemuan tidak menyenangkan dengan Abang mirul. Pikiranku melayang kepada saat-saat di mana aku dan Andika selalu berlawak, saat semuanya terasa lebih ceria. Namun, kenangan itu seolah tertutup dengan bayangan kelam yang kini mengisi hidupku.

Tiba-tiba, suara pintu dibuka dengan kasar. Ibu tiriku , Aunti Aisyah melangkah masuk dengan ayah di belakangnya. “Anayra! Kenapa bilik kamu bersepah lagi?” Suaranya menggelegar, membuatku terkejut.

Aku hanya terdiam, tak berani menjawab. Ayah hanya berdiri di tepi, wajahnya menunjukkan keletihan dan ketidakpuasan.

“ jangan terlalu keras dengan Nayra. Dia cuma perlukan sedikit waktu,” kata ayah perlahan, tetapi mummy mengabaikan nasihatnya.

“Waktu? Atau alasan? Dia sudah cukup besar untuk tahu apa yang perlu dilakukan!”  mummy balas dengan nada tinggi, membuatkan aku merasa tertekan. Sementara itu, ayah hanya menatapku dengan pandangan kosong, seolah meragui kemampuanku.

Kami semua duduk di meja makan dalam suasana hening. Makanan yang dihidangkan tampak lezat, tetapi aku tak punya selera. “Makanlah. Kita perlu berbincang tentang sesuatu,” kata ayah, tetapi suaranya keras dan tegas, seolah memaksa.

“Dan Nayra, kamu perlu lebih fokus dengan masa depanmu. Kawan ayah dah cakap dengan ayah tentang satu kerja di syarikat dia,dan aku terima ” sambungnya lagi, tanpa memberi ruang untukku menjawab.

“Kerja? Nayra tak siap,” jawabku teragak-agak. Rasa tertekan dan gugup mengisi pikiranku. Aku tidak merasa siap untuk bekerja, apalagi jika itu untuk mewujudkan harapan orang lain.

“Tak ada alasan untuk tidak siap. Interview lusa. Jadi, nayra perlu bersiap,” Mummy berkata dengan nada tegas, seolah semua ini adalah arahan yang wajib dipatuhi.

“Nayra tak tahu apa-apa tentang kerja!” kataku, suaraku sedikit meninggi. Rasa putus asa menguasai diri.

Ayah mengerutkan dahi, wajahnya berubah serius.

“Nayra, cukup dengan alasan. Kamu sudah cukup besar untuk tahu tanggungjawab. Jangan buat ayah malu di hadapan kawan ayah!” Dia berbicara dengan suara kasar, menambah rasa sakit dalam hatiku.

Keesokan harinya pada pukul 12 tengah hari.saat itu, Dian Melantha seorang sahabat yang aku kenali datang berkunjung. Dia perasan aku kelihatan cemas dan tegang. “Nayra, kenapa? Apa yang berlaku?” tanyanya, menyapa dengan senyuman lembut.

“Aku kene paksa kerja. Interview esok, tapi aku tak tahu apa-apa,” kataku, hampir menangis.

Dia menghampiriku dan mengusap lembut rambutku. “Jangan risau. Aku akan tolong kau bersiap. Kita boleh belajar bersama-sama. Ini peluang untuk kau menunjukkan kebolehan.”

Tiba-tiba, rasa tertekan itu sedikit reda. Aku merenung wajah Dian yang penuh harapan. “Terima kasih, dian. Tapi aku masih takut.”

“Sama-sama kita  hadapi. Jangan takut, Anayra” jawabnya dengan tegas. Senyuman itu membuatkan aku merasa sedikit tenang.

Namun, di dalam hati, aku masih meragui diri sendiri. Akankah aku benar-benar mampu? Saat-saat ini mengingatkanku betapa sulitnya mencari tempatku di dunia yang penuh cabaran ini, namun dengan sokongan sahabat, mungkin ada harapan baru yang menanti.

HANZ I : AMORE MIO [OG]♡Where stories live. Discover now