Lagi-lagi Sendu menatap layar ponselnya. Tak ada notifikasi. Berharap Harsa memberi kabar rasanya terlalu istimewa.
Hembusan nafas panjang kembali mengisi hari Sendu. Entah sampai kapan, cinta bertepuk sebelah tangan ini akan terus berlanjut? Sendu sungguh lelah, tapi saat ini Ia tak punya waktu untuk mengeluh atau memikirkan sikap Harsa yang membuatnya selalu merasa terbuang karena sebentar lagi Ia harus menyelesaikan ujian semester.
Bebeberapa kali Sendu coba membaca rangkuman yang sudah Ia persiapkan, namun berkali-kali pula fokusnya pergi ke sana kemari. Ia tak sempat belajar tadi malam, tangisnya membuat Ia tertidur bersama kesedihan.
"Mata Lo sembab banget, anjir! Pasti Harsa 'kan pelakunya?" Ucap Nadir, sahabat karib Sendu. Ia baru saja tiba di kelas, segera menghampiri Sendu yang sudah lebih dulu duduk. "Udah sih Ndu, Lo putus aja! Cowok mana coba yang ngajak backstreet gini cuman karena gak mau orang-orang kampus tau kalian pacaran? Emang Lo aib buat Harsa? Anjir, diri Lo tuh berharga!"
"Enggak gitu, Nadir. Harsa pasti punya alasan kok, lagian emang gue-nya aja yang gak ngertiin sikon Harsa," Jawab Sendu."Heh? Lo gak ngertiin Harsa? Harsa yang gak pernah ngertiin Lo! Emang dia pernah minta maaf kalau dia bikin salah? Enggak, Ndu. Tolong lah, Lo jangan tolol begini."
Sendu terdiam. Beberapa teman di kelas mulai memperhatikan mereka. Lagi-lagi Sendu hanya membuang nafas, Ia tetap memilih diam tak mempedulikan seberap kesalnya Nadir, hingga ujian semester pun dimulai.
Waktu berlalu dengan cepat, petang menyambut semua bangunan di Jakarta. Kemacetan mulai terlihat seiring dengan jam pulang para budak korporat. Sendu baru menyelesaikan soal-soal yang sebagian tak bisa Ia jawab dengan yakin.
"Ayo makan, Ndu. Gue laper nih." Ucap Nadir, setelah kelelahan menggunakan otaknnya bertarung dengan jajaran soal sulit. "Sorry, gue rude. Gue gak maksud." Lanjutnya, menyadari Sendu lebih diam, sebuah tanda yang mudah Nadir pahami saat Sendu sedang kesal. "Ayo Ndu, ayo!"
"Iya, iya." Balas Sendu seadanya, Ia tak memiliki tenaga untuk berdebat dengan Nadir, ujian hari ini sangat menguras tenaga.
"Di kantin ada menu baru Ndu. Mereka bikin makanan Korea gitu, gue mau coba deh."
"Enak gak, ya?"
"Kalau gak enak, gue yang habisin."
"Deal!"
Keduanya berjalan ke kantin, Nadir tak bisa berhenti bicara, menceritakan semua hal yang terjadi seminggu ke belakang khususnya tentang liburan singkat bersama kedua orang tuanya yang sudah bercerai sejak Ia sekolah dasar. Sendu sebagai pendengar setia, tak pernah bosan mendengar semua celotehan Nadir, walau seringkali Ia tak merespon hanya diam mendengar. Namun, seketika langkah Sendu terhenti. Harsa di sana, di parkiran hendak bergegas pergi, hingga seorang wanita menghampirinya dan mengobrol dengan tawa yang tak pernah Harsa tunjukan sejak mereka berpacaran.
Nadir menyadari, Sendu tak lagi di sampingnya, gadis itu melihat objek yang membuat Sendu sama sekali tak bergeming. Sungguh ironi, Sendu, teman dekatnya yang penuh senyuman kini menjadi gadis murung karena seorang lelaki yang tak bisa menghargainya.
"Gue labrak aja si Harsa, dia harus bisa pake otaknya sih." Ucap Nadir, menghampiri Sendu yang terus menatap Harsa bersama gadis itu dan kini mereka menaiki motor, bersiap pergi, berboncengan dengan akrab."Gak usah, kita lanjut makan aja."
"Tapi Ndu..."
"Gue laper, Nadir."
"Oke. Tapi next time, Gue gak akan minta ijin Lo buat labrak Harsa."
"Deal!"
To be continued...