#3

107 37 14
                                    

#3

Empat tahun kemudian.

"Fatimah!" seru seorang gadis sebayanya. Wanita muda itu menoleh, hijab panjangnya bergerak tertiup angin. "Cepat sekali jalannya, jangan buru-buru dong!" tegur Maesaroh.

"Duh, maaf deh. Aku takut telat soalnya."

"Rajin banget sih kamu tuh."

"Ya harus rajin, biar cepat sidang skripsi. Hehehe."

"Huh, dasar Ustadzah!"

Mendengar itu ia hanya tersenyum. Ya, kini, Fatimah telah berubah banyak terutama mengenai penampilannya yang sangat tertutup, orang menyebutnya syar'i. Ia selalu pakai gamis dengan hijab panjang nan lebar. Wajahnya tidak tertutup tapi pandangannya terjaga. Berkali-kali laki-laki hendak mendekat tapi ia menolak dengan sopan.

Setelah cintanya pada sang ustadz, tidak pernah lagi dirinya merasakan ketertarikan dari lawan jenisnya. Ia berusaha menghapus cinta itu tapi terlalu sulit dan bahkan semakin membesar. Cara untuk meredam itu pun hanya dengan belajar dan banyak melakukan kegiatan organisasi kampus. Salah satunya adalah Qori dan HMI ( himpunan mahasiswa islam).

Tugasnya adalah belajar tentang pendidikan islam dan sering kali mereka pergi ke pelosok untuk mengajar mengaji dan pengetahuan tentang para Nabi pada anak-anak. Mereka sering kali mengadakan pengajian bersama dan datang ke tempat taklim. Berdiskusi mengenai berbagai macam masalah mengenai keagamaan dan lainnya.

Kesibukan itu membuatnya serdikit demi sedikit melupakan sosok bernama Abdullah.

Hingga akhirnya ia lulus dan menjadi sarjana pendidikan agama islam. Orang tua datang untuk merayakan kelulusan tersebut. Serta memberi kabar bahwa istri dari Abdullah telah meninggal dunia. Kini, pria itu menjadi duda anak satu.

Seketika pertahanannya runtuh....

***

Setelah kelulusan itu Fatimah memohon pada orang tuannya untuk kembali ke kampung. Ia akan mengajar di desanya sendiri sekaligus ingin kembali melihat pria yang sangat ia cintai. Awalnya Wagio menolak, tapi desakan dan permohonan yang amat sangat membuatnya luluh.

Sejujurnya ia pun sangat menginginkan Abdullah untuk menjadi menantu, tapi dia sendiri malu apakah pria itu mau menikahi putrinya?

Apalagi ia pernah menikah dengan seorang putri dari Kiyai besar. Sementara dirinya hanyalah petani biasa. Sudahlah, ia pasrahkan jodoh sang putri pada Allah swt.

Kini, mereka sudah tiba di desa, para warga sontak berbondong-bondong menyambut kedatangan Fatimah yang empat tahun tidak pernah kembali ke desa. Mereka begitu gembira dan nampak banyak yang berubah, anak-anak semakin besar, beberapa rumah sudah ada yang dibangun lebih bagus termasuk milik Abdullah yang tanahnya sudah di semen dan di keramik. Walau bentuknya tidak berubah, tapi nampak sedikit kemewahan di sana.

Akan tetapi pria itu tidak ada, beberapa warga mengatakan ia tengah ke kampung sang istri untuk ziarah ke makam sang istri bersama putranya. Mendengar itu saja rasanya dadanya sesak, apakah Abdullah begitu mencintai wanita yang telah melahirkan satu putra untuknya?

Usai menyambut para warga, ia pun akhirnya bisa sedikit santai di kamar. Rasanya sungguh sangat lelah. Dirinya pun terlelap dalam buaian mimpi.

"Bersediakah kamu menjadi istriku dan Ibu dari anakku?"

Mendengar itu tentu saja ia berbunga-bunga. Gegas Fatimah mengangguk. "Ya, saya mau, Pak Ustadz...."

Tangan itu terjulur hendak menggenggam jemarinya. Akan tetapi baru saja akan sampai, seseorang mendorong tubuhnya hingga jatuh ke jurang yang dalam.

"Astaghfirullah!" pekiknya kaget di atas ranjang dengan keringat mengucur deras. Furqon yang baru buka pintu kamar sang kakak turut terkejut.

"Apa sih, Mbak!" sentaknya dengan tangan masih memegang dada. "Furqon buka pintunya pelan loh, kenapa kaget gitu sih?!" Ia lekas meraih charger ponsel dan keluar dari sana. "Ngagetin aja!" sentaknya lagi lalu menutup pintu dengan kencang.

Kali ini, Fatimah tidak marah. Ia hanya heran dengan mimpinya. Kenapa pula ia bermimpi macam itu?

Ia melirik jam, sudah sore rupanya. Ia memang harus segera mandi dan menunaikan sholat ashar. Di rumah pun ia memakai gamis dan kerudung panjang, membuat sang adik agak heran dengan perubahan kakaknya. "Nggak gerah, Mbak?" sindir Furqon yang tahu bagaimana dulu sang kakak berpakaian di dalam rumah.

"Udah biasa." Ia menjawab sekenanya.

"Udah kalem sekarang ya?" godanya seraya duduk di sofa, tak jauh dari Fatimah.

Gadis itu melirik. "Alhamdulillah."

"Idih...." Furqon sok mau muntah tapi Fatimah biasa saja. "Kok bisa sih, Mbak. Berubah gini, dipelet ya?"

Mendengar itu Fatimah langsung melotot dan melempat sedotan kecil. "Istighfar kamu, kita sudah dewasa sekarang. Bukan seperti dulu lagi, bedakan."

"Idih takut...."

"Dasar bocil!" ejeknya.

"Dih, sok tua, kamu, Mbak!" balasnya seraya kabur dari sana karena Fatimah sudah siap melempar air gelas di atas meja. "Hahaha, galakmu tidak bisa ditutupi, Mbak!" serunya dari kejauhan.

Fatimah mendengus kesal, tapi senang juga karena sudah lama tidak berinteraksi dengan sang adik yang jahil. Furqon memang tidak pernah berubah sama sekali. Masih saja anak nakal....

***

Rupanya, Abdullah cukup lama tinggal di kampung mendiang sang istri. Mungkin, ia ingin anaknya lebih dekat dengan sang kakek, nenek. Hal itu membuat Fatimah bertanya-tanya tentang bagaimana almarhum bisa meninggal?

Tapi, ia ragu harus bertanya pada siapa. Akhirnya ia simpan pertanyaan itu rapat-rapat. Hingga dirinya dipanggil untuk mengajar di salah satu sekolah dasar tak jauh dari rumah mereka.

Ia pun antusias dan sejenak melupakan Abdullah yang tak kunjung ia temui itu.

Usai mengajar, ia pun mengayuh sepedanya dan seketika ia menegang, sosok yang selama ini ia rindukan telah kembali ke desa. Pria itu berjalan seraya bercanda dengan putranya yang berumur tiga tahun. Gelak canda tawa itu terdengar merdu hingga tanpa sadar ia oleng akibat ban melindas batu tajam. "ALLAHU AKBAR!" teriaknya dan sepeda serta dirinya jatuh ke dalam pagar tanaman warga.

Abdullah pun langsung menoleh kaget dan mendekat dengan cepat. Ia menurunkan putranya untuk lekas membantu sepeda yang menindih tubuh sang gadis yang hanya terlihat rok hitamnya saja. "Hei, kamu baik-baik saja?" serunya karena takut jika pengemudi itu pingsan.

"Ya!" balasnya membuat Abdullah lega.

Begitu sepeda berhasil di dirikan, wanita itu pun berusaha berdiri. Ia membersihkan pakaiannya dan merapihkan hijab panjangnya barulah ia balik badan untuk berterima kasih. Tapi, seketika terdiam begitu melihat siapa yang menolong dirinya. "Pak Ustadz...."

Abdullah sejenak menatap wajah itu, paras ayu yang tak asing tapi sedikit membuatnya berpikir siapa?

Setelah sadar ia pun lekas menundukkan pandangan seraya menggendong sang putra kembali. "Kamu Fatimah, bukan?"

Dengan hati riang sebab laki-laki yang ia cintai masih ingat akan namanya mengangguk cepat. "Ya, ini saya, Pak Ustadz."

"Kamu sudah kembali rupanya, selamat akan kelulusanmu," ucapnya tulus tanpa menatapnya.

"Terima kasih." Ia diam sejenak lalu bertanya lagi. "Ini, anak Pak Ustadz?"

Pria itu mengangguk. "Ya, namanya Husein."

Fatimah sedikit mendekat untuk kemudian meraih tangan mungil itu. "Hallo Husein, anak ganteng...." Keramahan itu membuat Abdullah agak tak nyaman. Ia lekas menarik pelan tangan sang putra dari genggaman Fatimah.

"Maaf ya, tidak enak berdua begini, cepatlah pulang dan bersihkan lukamu. Permisi," pamitnya lalu mengucap salam yang lekas di jawab lirih.

Senang tapi juga sedih, ia tak bisa berinteraksi lebih dari pada itu.

Apakah Tuhan akan mendengar doanya kali ini?

CINTA FATIMAH PADA ABDULLAHWhere stories live. Discover now