Setiap manusia menyimpan warna dalam kehidupannya. Warna yang kadang memancarkan keceriaan, kadang merangkum kesedihan. Warna-warna itu muncul dari pertemuan dan perpisahan, dari orang-orang yang singgah dan pergi. Namun, ingatlah, baik warna yang terlahir dari bahagia maupun duka, pada akhirnya akan memudar, larut dalam perjalanan waktu.
Kisah ini telah mencapai akhir. Belasan tahun lalu, seorang mahasiswi yang pernah merantau di bumi Yogyakarta kini akhirnya kembali ke asalnya. Dering kereta pulang menggema, pertanda saatnya ia melangkah menaiki anak-anak tangga perpisahan. Yogyakarta yang indah kini hanya menjadi kenangan. Tak ada lagi helaan nafas saat hujan mengguyur kota, tak ada lagi jejak warna yang ia goreskan di kanvas istimewa kota para seniman itu. Hati terasa amburadul, seperti dihantam gelombang rindu yang tak kunjung reda.
Senja Loka, 2017 (flashback on)
"Nanti kita akan berjumpa lagi!" Seru bocah lelaki berusia 10 tahun itu, matanya bersinar penuh semangat.
"Di mana?" Tanyaku.
"Jogja!" Jawabnya mantap.
"Harus di Jogja?" Sahutku ragu, namun tersenyum kecil.
Bocah itu, sahabat kecilku, mulai menjelaskan alasannya, mengisahkan bagaimana ia ingin menimba ilmu di kota itu, dan pada akhirnya, ia ingin menenun kenangan hidupnya di sana.
Tiap kata yang diucapkannya seolah memancarkan mimpi yang berkilau di sorot matanya. Aku, yang setahun lebih muda darinya, mengangguk setuju.Sore itu, sambil duduk berdua di bawah langit yang perlahan meremang, kami melukis dunia kecil kami. Tiba-tiba, ia menyodorkan lukisannya, karya khas anak SD. Dengan matahari separuh di sudut kanan atas dan dua manusia kecil bergandengan tangan, berlatar lampu-lampu khas kota Yogyakarta yang menyala remang.
(flashback off)
Di tengah deru kereta yang melaju cepat, kepingan kenangan menari bak ilusi tanpa akhir. Dengan tangan memangku dagu, mata tertuju pada bentangan sawah yang basah oleh rinai hujan. Rasanya seperti tenggelam dalam pusaran emosi; memori itu bergema, bercampur dengan udara yang membawa aroma tanah basah.
Kereta tiba-tiba berhenti, diiringi pengumuman yang mengabarkan masalah pada mesin akibat derasnya hujan. Dalam diam yang janggal, aku tersentak ketika bahuku ditepuk lembut oleh seorang pria paruh baya.
"Nyuwun sewu, Mbak. Ini kita sudah sampai mana, ya? Kok keretanya berhenti?" Tanyanya dengan raut khawatir.
"Oh, ada masalah di mesinnya, Pak. Saya juga belum tahu kita sampai di mana." Jawabku pelan.
Ia tersenyum getir, menatap ke depan dengan mata yang tampak lelah namun dipenuhi kerinduan. "Kira-kira lama nggak ya, Mbak? Istri dan anak saya sudah menunggu di rumah. Mereka pasti sudah rindu."
Ku balas senyumannya. "Ditunggu saja, Pak. Wah, manis sekali keluarga Bapak."
Ia terkekeh pelan. "Haha, iya, Mbak. Jujur, berat rasanya meninggalkan Jogja. Seperti rumah kedua bagi saya, sudah terlalu banyak yang melekat di hati."
Aku mengangguk, paham betul rasanya. "Benar, Pak. Saya juga anak rantau. Dulu awal datang berat, sekarang malah semakin berat untuk pulang."
Pria itu terdiam sejenak, seolah merenungi setiap kata yang terucap. Lalu, ia berujar pelan namun pasti, "Ada sebuah pepatah, Mbak, yang selalu saya pegang: siapa yang pernah merasakan makanan, minum air, dan menginjakkan kaki di Jogja, suatu saat pasti akan kembali. Jadi, percayalah, Mbak. Perjalanan ini masih panjang, dan kelak, Jogja akan menyambut kembali dengan tangan terbuka."
Maka aku pahami, Jogja bukan sekadar tempat untuk kembali. Ia adalah ruang di mana rindu terukir, tak terhapus walau tak selalu pulang. Di setiap sudutnya, ada serpihan cerita, hangat seperti mentari senja yang membelai lembut, dan dingin seperti embun pagi yang menggigil di dedaunan.
Sebentar lagi, kisah ini akan bergulir lagi, seperti angin yang menerpa dan menuntun langkah di sepanjang Malioboro. Peganglah erat cerita ini, jangan biarkan ia terlepas di arus kenangan yang memudar. Walau waktu melaju tanpa jeda, biarkan warna Jogja tetap hidup, seakan tersulam di cakrawala malam yang selalu setia memeluk cahaya. Seperti bintang yang enggan redup, kenangan di kota ini berpendar abadi, membisikkan kisah dalam diam, tak pernah benar-benar hilang di hati yang rindu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beneath Jogja's Moonlight
Teen Fiction-Jika Pasundan diciptakan saat Tuhan tersenyum, maka Jogja diciptakan saat Tuhan sedang jatuh cinta. Mengisahkan perjalanan emosional seorang gadis muda, Moonmaya Prameswara, yang baru saja menginjakkan kaki di Yogyakarta sebagai mahasiswa baru. Dal...