Di lorong tangga lantai dua kost, terdengar suara grasak-grusuk yang memecah keheningan. Aya, yang tengah terbaring di kasur dengan mata terpejam, merasa terganggu oleh suara itu. Setelah mencoba mengabaikannya, akhirnya ia bangkit, langkah kakinya membawa ia mendekati sumber suara yang seolah menggema di sepanjang lorong.
Di ujung tangga, berdirilah seorang perempuan berbalut kaos oversize hitam yang jatuh hingga lutut, kontras dengan celana pendek yang dikenakannya, menyiratkan sosok yang bebas dan acuh. Di tangannya tergenggam kanvas besar, berukuran nyaris sama dengan lengkung bahunya, sementara peralatan melukis diselempangkan di sisi lainnya, seolah semesta seni berada dalam genggamannya.
"Huhh, tugas iki pancen njlimet tenan," keluhnya, aksen Jawa Jogja yang keluar begitu saja, menandakan ketidaksabarannya.
Dialah Kinan Adhisti Ningsih, mahasiswi Desain Komunikasi Visual di Universitas Gadjah Mada, yang baru saja menjejak semester ketiga. Seorang putri Semarang yang kini berlabuh di Yogyakarta, dikenal dengan karakternya yang teguh; seorang yang keras kepala, namun dengan tekad sekuat baja. Jauh dari sosok yang lemah, Kinan adalah badai yang membawa prinsip, langkahnya tegas, dan jiwanya terpatri pada pendirian yang tak tergoyahkan.
Saat Kinan tampak kesulitan membawa peralatan beraneka rupa, Aya datang dengan senyum lembut dan menawarkan bantuan, suaranya selembut angin senja.
"Saya bantu, Mbak?" tawar Aya, senyumnya ramah.
Kinan menoleh, matanya menyiratkan kebingungan. "Lho, cah endi iki?" tanyanya, heran.
"Anak baru, Mbak. Biar saya bantu," jawab Aya, tetap sabar.
Kinan sedikit ragu, namun akhirnya menerima bantuan itu. Dalam hatinya, tak ada perbedaan antara yang baru dan lama; semua manusia, semua sama. Mereka pun beriringan menuju kamar Kinan, membawa peralatan yang terserak. Begitu tiba di kamar, Aya terpana melihat keunikan yang tersebar di dalamnya. Ruang itu seperti jiwa seni yang hidup. Kanvas di mana-mana, peralatan nirmana yang teronggok, bercak cat yang tak sengaja tumpah, membekas di lantai seperti jejak mimpi yang tak kunjung habis.
"Yo ndak usah kaget, yo, karo kamarku," kata Kinan sambil tertawa kecil dengan logat Jawa Jogja yang kental.
"Biasa iki, tugas-tugas DKV. Wis ra sempat tak resiki."Pandangan Aya terpaku pada sebuah lukisan abstrak di sudut ruangan. Lukisan itu baru separuh jadi, menggambarkan rumah yang samar namun penuh makna. Belum sempat tangannya terulur untuk menyentuh, Kinan buru-buru menggeser lukisan itu, seolah menutup pintu menuju rahasianya.
"Ah, lukisan gagal iki, ra usah dilirik-lirik," katanya malu-malu.
Sambil beres-beres, mereka pun saling berkenalan. Aya bercerita bahwa ia baru saja tiba sore itu dan berkuliah di ISI Yogyakarta. Mata Kinan langsung berbinar, sedikit tak percaya. ISI adalah kampus impiannya yang tak sempat digapai.
"Lho, arek ISI to? Wah, mbiyen aku yo ngimpi pengen mlebu ISI, tapi yo piye, malah takdirku mlebu UGM," katanya, suaranya mengandung rindu dan penyesalan yang samar.
Aya terkekeh kecil, menahan tawa. "Hah, kudune seneng kehempas UGM," gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.
Namun Kinan, seolah bisa membaca pikirannya, menjawab dengan senyum getir. "Nek UGM yo apik, tapi ISI ki beda, ngerti ora? Yo ngene, tetep impianku neng ISI. Tapi wes, tak jalani wae."
Percakapan mereka sederhana, namun penuh kehangatan. Keduanya, bagai cermin yang saling memantulkan harapan dan luka. Tak perlu banyak kata untuk mengerti; seolah di setiap tawa, ada ikatan tak kasat mata yang menyatukan dua jiwa yang sama-sama mencintai dunia seni dan merangkai mimpi yang sama, meski lewat jalan yang berbeda.
Kinan menanyakan di mana kamar Aya, dan dengan lembut, Aya menjawab bahwa kamarnya tepat berada di samping kamar Kinan. Merasa sungkan untuk meminta kontak Kinan, Aya hanya berharap jika suatu waktu membutuhkan, ia bisa menghubunginya. Kinan, menangkap isyarat itu, langsung memberikan nomor ponselnya dengan senyum hangat.
Malam itu, dalam kesenyapan bulan dan gelapnya malam, Kinan mulai bercerita tentang Jogja, kota penuh kenangan yang ia cintai sekaligus ia anggap menyakitkan. Aya tertegun, hatinya bertanya-tanya, bagaimana mungkin seseorang bisa merasa sakit di tempat yang ia kagumi hingga setiap sudutnya?
"Menyakitkan nopo, Mbak?" tanya Aya dengan nada pelan namun penuh rasa ingin tahu.
"Ya ngunu lah," jawab Kinan singkat dan sedikit ketus.
Aya memilih diam, meresapi jawaban singkat itu. Dalam hatinya, ia berpikir mungkin akan tiba waktunya ia mengerti apa yang membuat Kinan menyimpan rasa perih pada kota itu. Biarlah waktu yang akan mengungkapnya.
Tiba-tiba, Kinan mengalihkan pembicaraan. Matanya berbinar saat ia menyebutkan sebuah tempat kesayangannya di Jogja, tempat yang selalu membuatnya merasa damai, Buku Akik Jogja. Ia bercerita dengan semangat, mengungkapkan bahwa Buku Akik adalah toko buku terkenal di kota itu, tempat yang tak hanya penuh dengan buku-buku beragam tetapi juga atmosfer yang unik dan menarik.
Mendengar nama itu, mata Aya ikut berbinar, seolah ada getaran baru dalam dirinya. Aya, atau yang dikenal sebagai Moonmaya Prameswara, memang seorang pecinta aksara. Ia telah menulis berbagai kisah fiksi, menciptakan dunia-dunia menakjubkan dari pikirannya, dan baginya, sebuah toko buku seperti Buku Akik adalah impian yang ingin segera disinggahi.
"Nang kono, koe iso nemu macem-macem buku, lan panggonane apik tenan, instagramable pokoke!" ujar Kinan dengan senyum bangga.
"Mbak, aku pengen ke sana!" jawab Aya dengan antusias.
"Besok?" tawar Kinan dengan senyum penuh harap.
Aya mengangguk penuh semangat, menyadari bahwa esok adalah akhir pekan. Waktu yang tepat baginya untuk menyusuri Jogja bersama Kinan, menyelami kisah-kisah tersembunyi di balik setiap buku, di kota yang perlahan-lahan ia cintai lebih dalam. Usai bercerita, malam itu terasa semakin larut, dan Aya merasa sudah waktunya untuk kembali ke kamarnya. Setelah membersihkan diri, ia merebahkan tubuh dan memejamkan mata, namun pikirannya justru melayang, penuh dengan imaji tentang esok hari.
Aya tak sabar menanti pagi, membayangkan perjalanannya bersama Kinan menyusuri sudut-sudut Jogja. Ia bahkan tidur lebih awal, berharap rembulan segera meredup dan mentari cepat menjenguk bumi.
Malam itu menjadi saksi awal kisah mereka, pertemuan singkat dan tanpa disengaja yang terasa seperti pintu menuju sebuah perjalanan panjang.
Dalam benak Aya, Kinan adalah sosok yang memahami orang lain lebih dari dirinya sendiri. Meski tampak luar mungkin begitu menyeramkan. Kesan pertama Aya memang cukup kuat, tatapan Kinan begitu judes, seolah ia enggan berbicara dengan siapa pun. Wajahnya dingin, ekspresinya datar, tak sedikit pun menunjukkan kehangatan.
Namun, setelah berbagi cerita, Kinan menunjukkan sisi lain yang berbeda. Ia ternyata begitu asyik ketika diajak mengobrol, penuh kejutan dan cerita yang tak pernah habis. Pelajaran malam itu begitu berkesan bagi Aya; bahwa manusia tak bisa hanya dilihat dari permukaannya saja. Ada yang tampak cuek namun ternyata hangat, ada pula yang tampak baik namun menyimpan misteri.
Ah, manusia memang pandai bersembunyi, berpura-pura, bahkan dalam kebahagiaan yang dipertontonkan hanya demi menyenangkan orang lain. Betapa rumitnya manusia, pikir Aya, terlelap dalam mimpi indahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beneath Jogja's Moonlight
Teen Fiction-Jika Pasundan diciptakan saat Tuhan tersenyum, maka Jogja diciptakan saat Tuhan sedang jatuh cinta. Mengisahkan perjalanan emosional seorang gadis muda, Moonmaya Prameswara, yang baru saja menginjakkan kaki di Yogyakarta sebagai mahasiswa baru. Dal...