Bagian 1: Sambutan Hangat

33 1 2
                                    

"Selamat datang di Daerah Istimewa Yogyakarta. Harap amankan barang bawaan Anda," suara itu memenuhi ruang kereta, menghadirkan senyum di wajah seorang perempuan muda yang begitu mencintai kota ini. Jantungnya berdegup penuh haru, seolah setiap detiknya menyalakan kilau mimpi yang lama ia bangun dalam diam.

Yogyakarta bukan hanya sebuah tempat, tetapi kehangatan yang tak pernah padam, irama gamelan yang menenangkan, dan harum kenangan yang mengisi tiap sudut kotanya.

Hari ini, impian yang selama ini ia pupuk dengan kerja keras dan doa telah berbuah manis. Jalur prestasi telah membawanya ke sini, dan warna biru pada pengumuman SNBP itu menjadi simbol perjalanan baru yang menantinya. Kini, ia resmi menjadi mahasiswa baru di salah satu kampus terbaik di Yogyakarta, kota yang memeluknya dengan sejuta kemungkinan dan rindu yang tak pernah habis.

Perempuan itu memandang keluar jendela, membiarkan pemandangan alam mengiringi perasaannya yang meluap. Baginya, Yogyakarta bukan hanya tujuan; ia adalah rumah kedua, tempat dimana mimpi bersemayam, menanti untuk diwujudkan.

Moonmaya Prameswara, nama itu tertera di kartu identitas yang diserahkan kepada petugas satpam stasiun, sosok ramah dengan senyum hangat khas Jogja.

"Mbak, niki asli Jatim, nggih? Niki arep kuliah nopo dolan mawon?" tanyanya dengan nada penuh keakraban.

"Alhamdulillah, maba, Pak," pelan sambil tersenyum malu, masih menata perasaan yang campur aduk.

"Masya Allah, barakallah, sugeng rawuh nggih, Mbak. Mugi betah teng Jogja. Ning kene nggih, nyenengke, adem ayem, wong-wonge ramah-ramah kabeh. Ora usah nggarai deg-degan," ujar si satpam dengan logat medok, diiringi senyum yang menenangkan.

Aku masih diliputi sedikit keraguan. "Tapi, Pak, niku loh... klitih-klitih niku piye nggih? Hehe."

"Hoho, ojo kuwatir, Mbak! Saiki Jogja aman. Klitih-klitih niku wes rampung diurus kabeh. Mbak urung nembe teka, mesti yo durung ngrasakke ayem tentreme Jogja to? Pancen yen wes keroso, kabeh wedi mesti ilang, Mbak," ucapnya dengan suara lembut, seperti ingin meyakinkanku.

"Tapi nggih, neng Malioboro, yo kudu ati-ati, Mbak. Sing njogeni barang-barang sing digowo. Yen lengah, yo kegendam lo. Jogja niku pancen ayem, tapi tetep kudu waspada!" tambahnya dengan nada canda dan senyum lebar.

Aku mengangguk kecil, hatiku mulai merasa lebih nyaman. Jogja, kota ini menyambutku dengan ramah, seolah memberiku tempat baru untuk bernaung.

Setelah berpamitan dengan satpam yang ramah itu, aku merapikan barang bawaanku, melangkah perlahan menuju titik di mana ojek online yang kupesan menanti. Rasanya setiap langkah yang kutapaki di tanah Yogyakarta adalah doa yang terjawab, sebuah awal dari mimpi yang kini terasa begitu nyata.

Udara sore di kota ini menyapa lembut, membelai wajahku dengan kesejukan yang jarang kurasakan, membawa wangi yang menenangkan hati seolah Jogja sendiri sedang menyambutku dengan hangat.

Di sekitarku, terlihat keluarga-keluarga yang penuh cinta, berdiri dengan senyum bahagia dan mata berbinar, menyambut sanak saudara yang baru tiba. Ada pelukan erat, tawa haru, dan air mata bahagia yang mengalir pelan. Pemandangan ini menggetarkan hatiku, mengingatkanku pada pesan orang tua yang menitipkan harapan dan doa, agar aku menjaga diri, merawat mimpi, dan berjuang sepenuh hati di kota yang mereka sebut "istimewa" ini.

Aku baru saja menginjakkan kaki di Jogja, namun sudah terlintas bayangan tentang setiap sudutnya yang ingin kutemukan, setiap lorong kecilnya yang penuh cerita, setiap denyut kehidupannya yang kucari, dan aku tak sabar, tak sabar untuk menyusuri pesonanya, satu per satu, dengan hati yang berdebar dan langkah yang penuh harap.

***

Di sebuah sudut Kota Yogyakarta, tepatnya di Jl. Senandung Rindu No. 13, Moonmaya yang akrab dipanggil Aya, berdiri di hadapan sebuah bangunan sederhana namun penuh kehangatan. Bangunan berlantai dua itu bertuliskan kost khusus putri, dengan jam operasional yang ramah, menerima tamu hingga pukul 8 malam. Dengan penuh harap, Aya menekan bel kost, membiarkan suara lembut bel itu mengalun, berharap ada seseorang yang akan membukakan pintu untuknya.

Tak lama, pintu pun terbuka. Di hadapannya berdiri seorang perempuan paruh baya dengan senyum lebar, penuh kehangatan. Ibu kost, yang ternyata telah menunggu dengan sabar, menyambut Aya dengan sukacita. Wanita itu mengenakan pakaian yang sederhana namun menyiratkan keramahan yang tulus, dan senyum yang seakan memeluk kedatangan Aya dengan penuh cinta.

"Ini Aya? Ya, ayo masuk, masuk. Tadi orang tuamu sudah menitipkan pesan, jadi harus menyambut dengan hangat," kata ibu kost dengan suara lembut dan penuh perhatian, seolah memeluk dan menenangkan hati.

"Iyaa, terima kasih, Ibu," jawab Aya, suaranya lembut dan hatinya berdebar, merasa disambut dengan begitu penuh kehangatan dan kebaikan.

"Kalau di sini, jangan panggil ibu, panggil saja Bunda. Anak-anak kost di sini semua memanggilnya begitu, jadi saya bisa merasa lebih muda, hihi," jawab Bunda kost dengan tawa ringan yang menambah kenyamanan di antara mereka.

"Panggilan kesayangan ya, Bunda?" Aya menggoda, mata berbinar dengan rasa hangat yang mulai tumbuh di hatinya.

"Hihi, iya, nak, Bunda itu yang paling pas!" jawab Bunda dengan senyum ceria yang tulus, semakin mempererat rasa saling percaya di antara mereka.

Dengan sambutan yang penuh kasih sayang itu, Aya merasa begitu diterima. Seperti menemukan keluarga baru di tanah yang asing ini, di kota yang kini akan menjadi bagian dari perjalanan hidupnya.

***

Aya merebahkan tubuh lelahnya di kasur kamar kost yang baru. Perjalanan panjang lintas provinsi tadi telah menyerap setiap energinya, membuat ia hanya mampu memandang tumpukan barang bawaannya yang masih teronggok tanpa tersentuh. Begitu banyak, pikirnya.

"Aduh, banyak sekali barang-barangnya... Besok saja, tubuhku tak sanggup lagi malam ini," keluhnya pelan, senyum tipis menyertai keletihannya.

Belum sempat ia beristirahat lebih lama, terdengar ketukan halus di pintu. Bunda kost telah menyiapkan makan malam, rupanya. Keheningan kamar Aya terpecah, digantikan aroma masakan yang samar memenuhi lorong kecil itu, membawa kehangatan baru.

"Aya, ayo keluar, Nak. Sudah bunda siapkan makanannya," suara lembut Bunda menyusup, membuat hati Aya terasa hangat. Ia keluar dan menemukan meja makan yang sederhana namun penuh kehangatan, hanya ada ia dan Bunda kost di sana.

Aya tersenyum, lalu bertanya sambil duduk, "Bunda, apa hanya kita berdua? Aku kira mungkin akan ada anak-anak kost lain..."

Bunda tertawa kecil. "Anak-anak kamar lain sedang sibuk, Nak. Mereka sudah mahasiswa-mahasiswa lama, tugas mereka banyak. Lagi pula, kamu yang paling muda di sini, Aya. Bunda ingin kamu merasa seperti di rumah, jadi tenang saja."

Aya menatap Bunda dengan perasaan haru. Di meja makan yang sederhana itu, di tengah keheningan kota malam, ia merasa telah menemukan potongan kehangatan rumah yang tak pernah ia duga akan segera menyapanya. Yogyakarta, dengan segala keajaiban yang diam-diam merangkul, telah mulai membuka dirinya, menerima Aya dalam pelukan ramah, yang mengingatkan pada kasih ibu.

Beneath Jogja's MoonlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang