TUBUH YANG UTUH, TAPI SETENGAH JIWAKU ADA DILANGIT.

46 6 0
                                    


Bu, meski ragamu tak lagi bisa kudekap. Organel sel dalam tubuhku, nyaris sama persis seperti milikmu. Mother always lives in my body.
-Cakrawala Jingga Gumelar

Eksistensi Jingga sebagai individu alfa di Sekolah Teknik Menengah, sudah ia pupuk sejak duduk dibangku kelas 8 SMP. Dia, gemar mengikuti aktivitas yang tak seharusnya dilakukan pada umurnya yang masih sangat belia, atau bahkan dilakukan oleh seorang pelajar.

Jingga, selalu mengikuti urusan orang-orang dewasa hingga namanya harum di kalangan jagoan STM. jadi, tidak butuh waktu lama baginya untuk beradaptasi dengan lingkungan yang nyaris membuat siapa saja terkena serangan mental.

Der Panzer, salah-satu nama perkumpulan anak-anak sengak disekolah kami. Senin sampai Jum'at anak-anak Der Panzer selalu memiliki planning yang tak kunjung habis dan hilang akal. Der Panzer, selalu menjadi sorotan mata para pengajar disekolah kami.

Di saat siswa-siswi yang lain datang lebih pagi hanya untuk menghindari kakak kelas dan pemalakan, Jingga dan kawan-kawan masih bersantai, riang dan gembira, di pinggiran kota dengan segelas kopi dan rokok eceran hasil pemalakan.

Bagaimana bisa, sejumlah uang dengan nominal Rp. 4.000 dapat dibelikan dengan 3 gelas kopi dan setengah rokok eceran? nyaris, pembagian matematika yang paling sulit.

Maskulinitas mereka sebagai laki-laki selalu diuji cobakan, naas, seperti tikus wistar. Dengan, beradu otot, satu lawan satu dari kalangan remaja seusia mereka, dari sekolah-sekolah yang dianggap sebagai 'penyaing.'

"Jingga, setoran dari anak-anak ditiap jurusan harus terkumpul sekarang! untuk persiapan ulang tahun sekolah." ucap salah-satu senior dari Der Panzer.

"siap bang, nanti siang disetorkan"

"kondusif kan anak-anak untuk minggu depan. Sekolah musuh sudah berlalu-lalang di sekitaran teritorial kita"

Tepat, pukul 09.46 pagi. Aku memanjat benteng di belakang sekolah. Dengan langkah cepat ku hampiri warung si ibu, singapnya lenganku menggenggam satu bakwan dengan saus sambal diatasnya.

"perempuan yang dingin, hari ini kau dingin, esok atau nanti aku akan menjadi orang yang paling kau khawatirkan, Caramellia" hatinya berbisik sembari melihat layar handphone dengan tampilan chatting malam kemarin, bersama Caramellia.

Hari ini, Jingga hanya akan mengikuti satu kelas di jam ke 4 dan jam ke 6.

Setelah menghabiskan 2 buah bakwan dia melangkah menuju bengkel tempat anak otomotif melakukan uji coba materi. Dengan, tubuh tegap tinggi serta bahu bidang proporsional ia menyelempangkan werpak berwarna hitam bergaris merah. Langkah kakinya yang memenuhi hampir sebagian gedung sekolah, membuat siapa saja melirikan bola mata kepada Jingga.

"Assalamualaikum, pak. Maaf telat."  ucap Jingga dengan suara parau dan sedikit menundukkan kepalanya.

"Waalaikumussalam, memangnya bapak bodoh, Jingga? mau sampai kapan kau terus menerus berandal seperti ini? datang telat, pulang lebih awal. Masuk! selesai praktik ikut bapak ke kantor!" tampak wajah tegas dan suara lantang terpancar dari Pak Doni.

Jingga, kemudian memasuki ruangan dan bergabung bersama teman-temannya. Di sekeliling ruangan yang dipenuhi oleh alat-alat besar dan mesin dengan suara bising.

"Ah telat wae manehmah" ucap Gara, dengan aksen Sunda.

"biasalah, ditahan ku kakak kelas di terminal." Jingga menimpali, sembari melakukan tune up bagian dari badan mobil.

Tepat di jam ke 5, Jingga memutuskan untuk pulang terlebih dahulu karena tubuh tegap itu mencetak lebam hampir dari sebagian lekuk tubuhnya. Dengan sedikit tertatih-tatih Jingga lebih memilih melompati benteng ketimbang meminta sepucuk kertas izin pulang lebih awal. Begitulah Jingga.

Alex menemani Jingga, salah-satu teman dari Teknik Mesin. Dengan mengendarai motor tua, Alex melajukan motornya menuju ke kediaman Jingga. Menerobos panasnya sinar matahari mereka menudungkan wearpak tepat diatas kepala untuk menghalau sinar matahari yang menusuk sampai tulang. Sesampainya, Alex memutuskan untuk sesegera mungkin pergi dan melanjutkan pembelajaran. Jingga menuruni motor tua itu, dan berucap "makasih, Lex. Hati-hati dijalan, titip pesan, hari ini tidak bisa ikut berkumpul bersama Der Panzer." Alex hanya mengangguk dan menepuk pundak Jingga.

Jingga membalikkan tubuhnya dan menatap rumah dengan suasana sepi tanpa sosok seorang ibu yang melengkat dalam bangunan itu. Dengan sedikit mengusur sebelah kakinya, Jingga membuka pintu yang menghasilkan aroma segar dari baliknya. Ia melangkahkan kaki menghampiri sofa yang berada di ruang tengah, yang jarang tersentuh oleh anggota keluarga lain, mungkin. Sofa itu hanya akrab pada Jingga dan wanita paruh baya, Julia, wanita yang melahirkan Ayahnya.

"Nek, Jingga pulang" sambil merebahkan tubuh diatas sofa.

Tubuh lebam, suara parau, dan ingatan yang kusut seringkali menghampiri Jingga di saat-saat tak tepat, pun di saat ia harus berusaha menjadi laki-laki tangguh, setangguh Ayah, yang enggan bertukar kata dengannya. Pandangan yang hampir terpejam, Jingga bergumam, "Bu, Jingga rindu.. sedang apa ibu di sana? maafkan Jingga.." ucapnya, sampai kemudian Jingga memasuki ruang mimpinya.

MELURUH PILUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang