8. Ibu

15 3 15
                                    

Semua tentang Ibu adalah segalanya bagiku. Seakan aku tidak bisa hidup tanpa Ibu.  Seperti, hidupku sudah hancur tanpa Bapak, tapi hidupku akan lebih hancur jika tanpa Ibu. Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa jika harus hidup tanpa Ibu disampingku. Dulu, sebelum Bapak meninggal, Ibu adalah suatu representasi dari kata butuh. Aku butuh Ibu, Bapak butuh Ibu, Kak Dira juga butuh Ibu. Sementara Ibu, hanya butuh kami semua hadir untuk melengkapi satu sama lain hingga membentuk kata keluarga di dalam rumah.

"Bu," panggilku pada Ibu yang sedang rebahan di kamarnya.

Ibu menoleh perlahan, lalu bangun dari rehatnya. "Eh, Nar. Sudah pulang kamu?" tanya Ibu sambil menyambut tanganku yang hendak menyaliminya.

"Sudah, Bu. Baru aja Ainar pulang."

"Syukurlah, Nar. Dira sudah berangkat kerja?"

Aku mengangguk. "Sudah berangkat daritadi, Bu," balasku. "Oh iya, sakit Ibu kambuh ya?"

Ibu hanya terkekeh mendengar pertanyaan yang keluar dari mulutku. Sebenarnya aku sudah tahu kalimat apa yang akan keluar dari mulut Ibu yang kini tengah tersenyum memandang anak bungsunya yang sedang khawatir akan kesehatannya.

"Kata siapa? Ibu tidak sakit, Nar."

Seratus persen benar. Aku memilih diam sembari sedikit menarik senyum kesal karena jawaban Ibu. Apakah semua Ibu harus seperti itu? Merahasiakan suatu masalahnya yang padahal jika sosok Ibu bercerita pada anggota keluarga kecilnya terutama pada anaknya, bukankah akan membuat masalah itu semakin berkurang?

"Ibu gak usah pura-pura lagi. Ibu gak sendirian, Ibu masih punya Ainar sama Kak Dira," ucapku mencoba menenangkan Ibu.

Ibu tertawa lagi. "Tumben kalian akur. Biasanya berantem terus gak ada berhentinya."

"Sebenarnya aku sama Kak Dira gak selalu berantem kok, Bu. Di kamar, kami juga sering obrolin hal gak penting kalo sebelum tidur," sahutku.

"Masa, sih?"

Aku mengangguk sembari tersenyum. "Iya, Bu."

"Jangan terus pura-pura juga depan Ibu, Nar. Tadi kamu yang bilang begitu ke Ibu. Kamu harus ingat, kalau Ibu lebih tau dari kamu," kata Ibu sambil mengusap rambutku.

"Nar, jujur, Kakakmu itu orang yang baik. Dia hanya lelah makanya sering emosi sama orang rumah. Memang terkadang, Nar, lelah membuat kita lupa sama keadaan. Di pikirannya yang penting bagaimana caranya biar bisa istirahat agar pikiran tenang walau sejenak,"  katanya tiba-tiba.

"Iya, Bu. Ainar paham kok sama apa yang dirasain Kak Dira. Terkadang aku juga sering begitu. Capek. Capek sama orang rumah terutama Kak Dira, capek sama dosen di kampus, capek sama temen sekelas yang capernya minta ampun kalo di depan dosen. Capek sama tugas. Banyak deh," imbuhku.

Bukan, aku bukan mengeluh. Ini lebih tepat dianggap sebagai mencurahkan isi hati. Tapi salahnya, aku mencurahkan isi hatiku di depan Ibu. Ibu bukan cenayang, tapi Ibu seolah tahu rasa lelah yang aku alami saat ini. Apakah itu kekuatan murni dari seorang Ibu? Sebenarnya aku tidak mau berada di keadaan seperti ini. Aku hanya takut Ibu ikutan lelah karena keluhanku. Tapi aku butuh mengeluh, tapi aku tidak mau Ibu ikut lelah. Dasar labil.

Sejujurnya, kelabilanku masih bisa dibilang masih berada di tahap wajar. Karena hingga detik ini, aku merasa sudah tak bisa percaya lagi dengan manusia manapun kecuali Ibu. Ibu tidak egois jika mendengarkan aku bercerita. Ibu tidak pernah membandingkan diriku dengan orang lain sebagai titik puncak obrolan kami. Ibu selalu tersenyum walau hatinya sudah tak lagi kuat menahan kepura-purannya. Lagipula, tidak boleh ada seorang pun yang melarang kita untuk mengeluh kan? Terkadang, keluhan itu membuat kita lega. Lega yang sangat hebat.

"Pesan Ibu, jangan terlalu sering berantem sama Kak Dira, Nar. Kalian sudah besar, sudah tau mana yang baik dan mana yang buruk. Ibu bukannya membela Kak Dira, tapi Ibu rasa mungkin kamu di kampus punya teman yang bisa menemani sepinya kamu. Sementara Kak Dira, perasaan Ibu gak yakin dia ngerasain punya teman di luar sana. Jadi salah satu opsinya yang bisa temani sepinya Kak Dira cuma kita, Nar. Terutama kamu, adiknya sendiri."

Ucapan Ibu membuatku terdiam sejenak. Dan memang benar apa yang dikatakan Ibu. Jika di luar, aku masih memiliki Kara yang siap menemaniku dimanapun dan kapanpun. Tapi tetap saja, Kara bukanlah Ibu. Jika aku boleh membandingkan, Kara memang bisa mendengarkanku bercerita, tapi mulutnya yang berisik terkadang membuatku enggan untuk bercerita lagi dengannya.

"Lo kenapa sih, Nar?" tanya Kara saat itu, sepertinya sekitar dua tahun yang lalu, ketika aku masih duduk di bangku SMA tingkat akhir.

"Gak apa-apa," balasku cuek karena aku sudah tahu bahwa Kara telah membocorkan rahasiaku pada siswa kelas sebelah.

"Jangan begini, Nar. Cerita aja sini. Gue siap kok dengerin semua cerita lo," katanya dengan posisi duduk yang telah menghadap padaku.

"Gak ah! Lo cepu!" Umpatku padanya.

Kali ini aku benar-benar marah. Biar saja, biar dia tahu rasa dengan sikapku karena ulahnya.

"Hah? lo kenapa, Nar? kok bisa-bisanya bilang gue cepu?" Kara terlihat panik. Sementara hatiku tersenyum puas melihat reaksinya yang kelabakan seperti orang yang kehilangan sesuatu.

"Kenapa?"

"Kok lo malah nanya balik sih? Nar, cepu tuh punya banyak artian tau gak?! Dan salah satunya punya arti yang buruk. Gue sebagai sahabat lo gak mau lah dikatain cepu begitu. Apalagi kata itu keluar dari mulut lo sendiri," rengeknya sambil menggoyangkan lenganku.

"Ya ... karena emang lo cepu!" kataku lagi tanpa menatap Kara.

Tapi tak lama aku meliriknya. Ia terlihat memberiku wajah judes sambil sesekali meremas rok abu-abunya yang sedikit basah.

"Seenggak-Nya lo jelasin dong kenapa gue bisa-bisanya lo katain cepu. Sakit tau digituin sama sahabat sendiri. Ya ... sampai setidaknya biarin lo kasih gue kesempatan buat evaluasi kesalahan gue biar gak keulang lagi. Kalau lo suruh gue mikir kesalahan gue dimana, ya gue gak bakalan tau. Kan lo tau sendiri gue orangnya males mikir. Gue juga gak mau nilai gue jeblok cuma gara-gara berantem sama lo ya, Nar. Apalagi sebentar lagi ujian kelulusan mau dimulai," ucapnya, sengaja dilebih-lebihkan sepertinya.

"Apa hubungannya gue sama nilai ujian lo?"

Dia menoleh padaku. "Ya kalau kita berantem, nilai gue pasti jelek lah. Karena gue jadi gak bisa nyontek ke lo di ujian nanti. Gengsi, Nar! Gengsi!"

"Oh, jadi lo sahabatan sama gue cuma ngincer nilai bagus doang? kok baru tau ya gue niat terselubung lo selama ini?"

"Heh, bukan begitu maksud gue, Nar, sumpah!"

"Terus?"

"Hitung-hitung saling melengkapi gak sih, Nar? lo pintar dalam pelajaran, gue bodoh dalam pelajaran. Lo bodoh dalam percintaan, dan gue pintar dalam percintaan. Bener kan apa yang gue bilang? selain pacaran, berhubungan dengan sahabat juga harus saling melengkapi, Nar. Salah satunya ya kayak kita begini," ucapnya dan aku hanya melongok mendengar perkataannya yang entah kenapa semakin hari malah semakin bodoh.

Aku menggeleng. "Ngawur."

"Bukannya kita emang selalu ngawur ya, Nar?"

"Iya, saking ngawurnya lo malah bilang ke Rama kalo gue suka sama dia kan?" tanyaku.

Aku melihatnya terdiam sesaat namun tak lama matanya kembali membulat. "Oh, jadi gara-gara itu lo diemin gue seharian?!"

"Iya! udah tau sekarang salah lo dimana?" Lalu Kara mengangguk. "Ra, lo ngerti gak sih? gue tuh gak pernah bilang sama sekali kalau gue suka sama dia! Kemarin kan gue cuma bilang kalo diantara cowok di sekolah kita, yang bisa dikategorikan sebagai yang paling ganteng ya si Rama ini. Mengakui bukan berarti gue suka, Ra!" omelku padanya.

"Ya ampun, Nar. Kemarin gue kasih tau dia juga gak sengaja kali."

"Terserah lo, Ra!"

-oOo-

To be continued ....

Percikan Hujan yang Menyakiti Bumi [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang