"Harus banget sendirian?"
Orang itu datang lagi. Jujur, biasanya aku tidak pernah tertarik dengan laki-laki manapun. Tapi saat ini rasanya arti namaku mulai mempresentasikan diriku sendiri. Nama Ainar menurut buku memiliki karakter yang mudah tertarik secara fisik pada orang lain. Padahal sebelumnya, aku tak pernah mendambakan laki-laki. Tapi untuk laki-laki yang ada dihadapanku kali ini, rasanya begitu syahdu, atau ... penglihatan ini hanya ada di dalam pandanganku?
Karena menurut pandangan Kara, orang ini tampan tapi tidak terlalu tampan, ah bagaimana menjelaskannya kalian tanya Kara saja. Tapi kata Kara, sifatnya yang dewasa mampu menolongnya sebagai seorang laki-laki sejati. Aku tahu Kara bilang seperti itu karena definisi tampan yang dimaksudnya sudah berada di mahasiswa teknik mesin idamannya yang bernama Aldi.
"Ya ... emang lagi mau sendirian aja kok," balasku.
Dia mendekat lalu duduk di kursi yang masih kosong di depanku.
"Memangnya kasus adik saya masih belum cukup untuk nakutin kamu kalau di kampus ini bahaya banget kalo kita sendirian?" tanya laki-laki itu.
"Hmm ... bukan begitu, Jiwa." Aku bergumam. "Tapi kayaknya emang aku yang dari dulu suka banget sama kata 'sendirian' deh."
"Kenapa? banyak masalah ya? makanya suka banget sendirian."
Sial. Kenapa orang ini harus selalu tahu urusan orang lain sih. Sebenarnya aku tak memiliki masalah, tapi entah kenapa masalah ini yang seolah ingin memilikiku dan tidak mau melepaskanku dari genggamannya. Tapi lagipula, bukankah sendiri itu menyenangkan? Aku sudah mengucapkan ini berulang kali pada diriku hanya untuk membohongi diri sendiri bahwa aku kuat, bahwa aku bisa menghadapi suatu persoalan, bahwa aku bisa lepas dari semua ini.
"Emang kalau orang punya banyak masalah harus menyendiri ya?" tanyaku.
"Untuk bagi sebagian orang sih iya. Karena mereka gak selalu punya tempat untuk bercerita. Jadi mereka hanya mengandalkan diri mereka sendiri sebagai tempat meluapkan isi hatinya." kata Jiwa sok berpuitis.
"Lucu ya, menceritakan diri sendiri ke diri sendiri juga," balasku sambil tertawa.
Jiwa menatapku. Tapi sepertinya tatapannya memiliki arti. Ya, aku pikir Jiwa sedang tertawa dari dalam hati karena ucapanku yang juga tertuju pada diriku. Kasihan dia jika harus berurusan dengan masalahku seperti Ibu yang ikut merasakan lelahnya menjadi seorang Ainar.
"Jangan ngetawain diri sendiri," katanya lalu bangkit.
"Kamu mau pulang bareng saya, Nar?" tawarnya, aku gelagapan.
"Hmm ...," gumamku ragu.
"Kenapa? kamu masih mau nunggu sahabat kamu untuk jemput kamu disini? kalau gak salah saat terakhir kali kamu bilang itu ke saya, ternyata sahabat kamu lagi asik sama pacarnya kan?"
Ah, kenapa Jiwa harus selalu ingat dengan setiap adegan pertemuan pertamaku dengan dia sih. Aku tidak malu, tapi hanya gugup. Tapi memang benar apa yang dikatakan Jiwa barusan. Bahkan tadi, Kara meninggalkanku di taman kampus dengan alasan ingin pergi ke gedung fakultas teknik mesin. Aku sudah tahu tujuannya kemana.
"Kok diem?"
Jiwa kembali menyadarkanku ke dunia nyata. Aku menatapnya. Kulihat ia sedang memainkan kunci motor ditangannya.
"Jadi gimana? mau pulang bareng saya?" tawarnya lagi.
"Hmm ...."
"Nar, kalo kamu emang lagi banyak masalah, saya bisa temani kamu ke sebuah tempat yang bisa hilangin masalah kamu. Setidaknya kalo gak bisa hilang, ya ... masalahnya bisa tertunda buat sementara waktu kan?"
Menarik pikirku. Maksudku, ide yang diusulkan Jiwa adalah usulan yang menarik. Tapi aku pun tidak bisa berbohong kalau Jiwa adalah orang yang menarik juga. Buktinya, alih-alih aku berkata, "Jangan, Jiwa. Aku mau menunggu Kara saja." Tapi entah kenapa aku malah menjawab, "Hmm ... boleh deh." Haduhhh ....
"Sesuatu terkadang harus dibuat rileks, Nar. Dibawa santai saja, seperti angin yang menerbangkan daun dari tempatnya tumbuh," katanya saat kami berdua berada di atas motor. Suaranya yang berdampingan dengan angin jalanan sempat membuatku harus menguatkan indra pendengaranku.
"Berarti kalo ibarat daun yang ditiup angin, yang namanya masalah pasti akan hilang dengan sendirinya ya? jadi kita hanya perlu menunggu waktu yang tepat aja untuk momen itu," ucapku.
"Kamu gak salah, Nar. Tapi daun yang udah tertiup angin pasti akan tumbuh di dahannya yang lain. Jadi, yang namanya masalah gak akan ada habisnya. Setiap masalah pertama sudah diatasi, pasti akan datang masalah yang kedua. Begitu terus sampai tiba di waktu yang gak bisa ditentukan. Jadi maksud saya, daripada kita mikirin masalah yang gak terhitung jumlahnya, lebih baik kita alihin ke kegiatan yang lebih positif, Nar."
Aku terdiam. Ucapan Jiwa ada benarnya. Entah kenapa sekarang aku lebih memilih apa yang Jiwa ucapkan daripada nasihat Ibu yang seringkali menasihatiku setiap harinya. Apakah setiap anak yang sedang jatuh cinta akan seperti itu? Melupakan orang tuanya dan lebih menurut dengan pasangannya? Oh, tidak. Dasar bodoh kamu, Nar. Apa kamu bilang, Nar? Cinta? Brengsek. Padahal kamu kenal dan akrab dengan orang itu baru seminggu yang lalu.
Jiwa menghentikan motor berwarna hitamnya di depan panti asuhan. Ia mempersilahkanku untuk turun dan melepas helm bogo miliknya yang masih melekat di kepalaku. Lalu aku bertanya, "Kenapa kita kesini?"
"Karena ini tempat dimana kita harus melepas masalah," kata Jiwa sambil melepas helmnya.
Aku termenung. Dalam pikiranku aku berpikir, "Kenapa harus panti asuhan?"
Jiwa mengajakku untuk masuk. Tapi entah kenapa aku memilih untuk tetap berdiri di samping motor laki-laki itu sambil menatap beberapa anak-anak panti yang sedang berlarian bersama beberapa temannya yang lain. Aku menarik senyum simpul. Alangkah bebasnya mereka di dalam sana. Mereka tertawa, mereka senang, mereka bahagia. Aku jadi tahu kenapa Jiwa mengajakku ke tempat ini.
"Kenapa gak masuk? malu ya?" Jiwa menghampiriku lagi. Setelah kalau tidak salah dia habis mengobrol dengan pengurus panti tadi.
Aku menggeleng. "Nggak, kok. Cuma ...."
"Cuma ...?" Jiwa masih menungguku berbicara.
"Kira-kira, aku boleh gabung bareng anak-anak panti disana gak ya?" tanyaku sambil menunjuk anak-anak panti yang sedang bermain. Sementara Jiwa menaikkan sebelah alisnya yang tebal.
Aku melihat lagi senyuman milik Jiwa. Jujur, terakhir kali aku melihat senyuman setulus itu dari Ibu sebelum Bapak meninggal. Senyumannya manis dan lengkungan bibirnya cantik yang bisa membuat siapapun yang melihatnya jadi ikut tersenyum karenanya.
"Kamu sering kesini, Jiwa?" tanyaku.
"Sering," balasnya. "Gimana? suasananya beda kan sama kampus?"
Aku mengangguk, menyetujui ucapan Jiwa. "Iya, disini tentram, damai, asik," balasku. "Gak kayak kampus. Berisik, pusing, aneh," sambungku.
"Disini, saya menyebutnya, Lokakarya," kata Jiwa.
"Lokakarya?"
Jiwa mengangguk. "Masuk akal kan kenapa saya menamai ini sebagai Lokakarya?"
"Masuk akal sih. Karena setahuku, Lokakarya adalah suatu tempat dimana setiap orang dikumpulkan sebagai tempat memecahkan masalah tertentu dan mencari solusinya."
"Anggap saja ini sebagai perkenalan kamu dengan tempat ini, Nar. Kalau sekiranya kamu butuh tempat ini, kamu bisa hubungi saya langsung agar kita bisa selesaikan masalah yang kamu hadapi," balasnya.
Sepertinya aku mulai mempersilahkan hatiku untuk memilih pasangannya. Karena kata orang, setiap hati harus memiliki pendampingnya kan? Dan untuk saat ini, mungkin aku menganggapnya iya. Dan benar, aku suka seorang Jiwa. Dan memandangi senyumannya telah menjadi bukti bahwa aku menyukai dirinya.
-oOo-
to be continued ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Percikan Hujan yang Menyakiti Bumi [ON GOING]
Ficção AdolescenteSebuah Bagian Dari Dunia Pendongeng Disarankan untuk membaca Aksara Pendongeng terlebih dahulu. Ainar Danastri, dilahirkan sebagai anak bungsu dalam keluarga membuatnya menjadi anak yang paling disayang oleh orangtuanya. Namun di sisi lain, kecembur...