1. Percikan Hujan yang Menyakiti Bumi

218 50 207
                                    

Ketika asing dan rindu,
Kian menjadi satu

Angin mendesir di pinggiran utara Jakarta. Desirannya bak air dalam kolam, hening dan menyejukkan hati. Gelombang angin sepoi-sepoinya juga membuat rambutku melambai-lambai, seakan mengucapkan selamat tinggal sembari mengucapkan kata perpisahan yang membuat suasana siang ini semakin sempurna.

Namun, kesempurnaannya tak seindah pikiranku. Pikiranku sangat kacau, berat dan ... berisik. Semuanya menjadi acak-acakan bagai lukisan abstrak ciptaan para pelukis handal yang karyanya banyak dipajang di museum-museum ternama. Namun alangkah sempurnanya lukisan abstrak itu. Mereka bisa bernilai ratusan bahkan jutaan rupiah dalam sekali jual. Padahal mereka acak-acakan juga. Namun pikiran yang ada di kepalaku? Apakah bisa dijual seperti lukisan tersebut?

Aku selalu membayangkan bahwa jika pikiran-pikiran yang saling bersuara di kepalaku ini bisa di jual atau bahkan di lelang di pasaran. Mungkin hidupku tak akan seberisik ini. Faktanya memang benar, bahwa semakin dewasa yang dibutuhkan bukanlah lagi soal materi, namun ketenangan. Tapi untuk mencapai ketenangan itu tidaklah mudah. Ketenangan akan tercipta, ketika pikiran dan perasaan saling berdamai. Dan yang menjadi pertanyaannya, apakah aku bisa mencapai ketenangan itu? Atau ... kita semua akan terjerumus dan tenggelam oleh kerasnya takdir? Tapi bukankah takdir bisa diubah?

Lupakanlah sejenak tentang takdir. Kini, aku sedang duduk di tepian bebatuan sembari memandang ombak lautan yang sedang menerjang beberapa nelayan di atas kapal. Sembari menerima fakta bahwa hari tersedih telah datang menghampiriku. Hari di mana air mataku banyak menetes, membasahi tiap permukaan yang kuinjak. Hatiku juga seakan sedang tak bersahabat. Pikirannya pun kacau, berkelana entah kemana menyusuri sanubari.

"Ainar!"

Teriakan seseorang membuatku sedikit tersentak. Aku segera menyeka air mata yang sejak tadi terus membasahi pipiku. Langkah demi langkah kupijakkan segera menghampiri sumber suara sembari sesekali menahan sisaan isak tangis yang masih ingin terus meringis.

"Iya, Kak?" balasku sembari berlari kecil.

"Darimana aja lo?!"

Lengkingannya terdengar tatkala aku menemui sesosok perempuan yang berumur lima tahun lebih tua dari diriku. Perempuan bersetelan daster hitam itu tengah berkacak pinggang dengan telapak kaki yang sengaja ia naik turunkan sembari menunggu kehadiranku yang masih menaiki tangga halaman belakang.

"Aku habis dari sana," ucapku menunjuk bebatuan yang tadi sempat menjadi tempat persinggahan sementaraku. "Cari-cari angin, Kak."

"Lo bisa liat gak?!" Lalu perempuan itu menunjuk halaman ruang tamu yang sedang dikerumuni banyak orang bersetelan hitam. "Dan lo masih seenaknya santai-santai disaat banyak orang yang lagi ngelayat kematian Bapak kita?!"

Memang seperti ini awal ceritanya. Kehilangan seseorang memang sangat menyakitkan. Aku tidak tau harus berbuat apa setelah ini. Tapi satu yang pasti, hidupku akan sangat malang.

Aku tidak tahu kenapa ini harus terjadi. Benar bahwa setiap orang memang ada masanya. Tapi bisakah tak sependek ini? Aku benci perpisahan. Kata orang, perpisahan ada agar kita bisa menghargai sebuah kesempatan. Tetap saja masih tidak adil. Jikalau orang yang meninggalkanku masih ada di bumi, menurutku tidak apa. Tapi bagaimana jika orang yang meninggalkanku sudah tidak ada lagi di bumi ini? Aku tidak tahu apalagi yang harus aku rasakan setelah ini, apakah rindu? atau ... rindu yang sangat berat?

"Aku tau tapi ini gak mudah buatku, Kak," balasku masih dengan nada yang sendu.

"Terus? apa yang menurut lo mudah?! Lo pikir gampang terima semua ini, Nar! Disini yang gak terima bapak kita meninggal bukan cuma lo aja! Gue sebagai anak pertama juga ngerasain apa yang lo rasain! Lo liat Ibu! Dia juga merasa kehilangan suami yang paling disayangnya!" katanya dengan nada yang terdengar seperti orang yang tidak terima. Perempuan berusia lima tahun lebih tua dariku itu menggelengkan kepala tanda tak percaya.

"Ternyata lo masih aja jadi Ainar yang dulu, Ainar yang manja! Mana yang katanya mau berubah? janji akan jadi sia-sia kalau omongannya cuma berhenti sampai di bibir!"

Terkadang aku bingung, kenapa setiap sesuatu yang tidak disukai oleh seseorang selalu saja harus dilakukan dengan amarah. Bukankah berbicara baik-baik akan terdengar lebih sejuk dan sendu? Tapi sudahlah, dia Kakakku. Dengan sifat kerasnya yang seakan tak ingin aku hadir di dunia ini.

"Aku juga butuh tenangin diri aku, Kak. Aku juga sama kagetnya saat dengar Bapak menghembuskan nafas terakhirnya. Lagipula, di mana Kakak saat Bapak mau ketemu putri sulungnya sendiri? jarang ada di rumah tapi sekalinya datang langsung marah-marah begini seakan seisi rumah takut sama Kakak!" Akupun tak mau kalah dengan Kakakku. Kupikir diriku yang lemah ini juga masih memiliki harga diri. Berharap saja nada suara yang telah naik satu oktaf dari mulutku mampu membungkamnya.

"Lo pikir gue senang-senang di luar sana? itu kan yang lo pikirin, Ainar? gue dipercundangin dunia berkali-kali demi keluarga kita! Oh ya jelas, lo anak kesayangan Bapak mana pernah ngerasain apa yang gue rasain! Jadi gak usah lo sok tau tentang gue!"

Harapanku untuk membungkamnya selalu saja tak kunjung menemui kata berhasil. Aku lebih memilih diam untuk sementara waktu, sembari masih setia mendengarkan celotehan kakakku yang menambah bising di telinga.

"Lagipula, bukannya lo yang jadi penyebab kematian Bapak?"

Justru aku yang dibuat terbungkam setelah lontaran pertanyaan darinya yang mampu menembus sanubariku. Aku masih berusaha tegar, berharap ketegaranku bisa membuat diriku tak terlihat tambah lemah dihadapannya.

"Gak usah sok tau juga tentang aku ya Kak," balasku dengan air mata yang mulai menetes. "Lagian kenapa sih Kakak selalu nyalahin aku di setiap ada masalah dalam keluarga kita?"

"Gue iri sama lo, Ainar!"

Aku sedikit terkejut dengan cercaannya yang seolah sangat mudah keluar dari bibirnya yang indah. Seolah, aku adalah anak raja dan dia hanyalah anak jalanan. Jika memang seperti itu skenarionya, aku masih bisa menyebutnya ... wajar. Tapi faktanya ... kan tidak seperti itu.

"Iri kenapa? apa yang spesial dari aku sampai Kakak bisa-bisanya iri begitu?" Daripada pusing sendiri, pikirku lebih baik aku bertanya, berniat meminta penjelasan kepadanya yang seenaknya iri kepada diriku yang lemah ini.

"Gue iri karena lo terus jadi penyebab hancurnya keluarga kita tapi lo selalu jadi pemeran utama dalam cerita ini, Ainar!"

"Atas dasar apa Kakak ngomong kayak begitu?!" Aku mencoba mengelak. Dalam pikiranku, mungkin Kakakku sedang mabuk berat yang mengakibatkan omongannya mulai melantur dan sangat keluar dari topik pembicaraan.

"Let's see, pelan-pelan gue akan bongkar keburukan lo, Ainar. Dasar anak manja!" balasnya dengan ketus sembari menyunggingkan lengkungan bibirnya.

Setelah itu, perempuan tersebut meninggalkanku seorang diri di halaman belakang. Aku hanya bisa menangis, meratapi punggungnya yang semakin lama menghilang terhalang dinding rumah. Kehilangan seseorang untuk selamanya memang menjadi sebuah hal yang menyedihkan. Mungkin bayang-bayang rindu terhadap Bapak akan mulai menyerang hatiku juga setelah ini. Terkadang, orang menghilang begitu saja tanpa meninggalkan sedikitpun pesan sebelum kepergiannya. Namun mau bagaimanapun juga, itulah kehidupan, tidak ada yang abadi di dalamnya.

-oOo-

to be continued ....

Percikan Hujan yang Menyakiti Bumi [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang