Jika ditanya apa yang tidak disukai dari diriku, sudah jelas aku akan menjawab rumah. Tapi jika ditanya apa yang disukai oleh diriku, aku akan menjawab ... 'tidur'. Aneh? kalian tidak salah. Sebenarnya ini bukan tidur, tapi lebih ke pelarian. Sampai setidaknya isi kepalaku bisa diistirahatkan walau sejenak. Aku lelah, seperti butuh istirahat sebentar, dan itu adalah tidur.
Sebenarnya bisa diralat juga. Tidur tidak selalu menjadi sesuatu yang menyenangkan bagiku. Di satu sisi, aku merasa senang bahwa aku bisa istirahat. Tapi di sisi lain, aku akan terbangun dan kembali lagi ke rumah. Namun dari tidur, aku bisa belajar, bahwa di dunia ini memang benar tidak semuanya bisa abadi.
Loh, kalau gak bangun dari tidur sama aja mati dong? Tidak begitu buruk juga sebenarnya. Buktinya sekarang, hidupku telah mati atau bagaimana aku mendeskripsikannya. Gila? ya memang. Sedikit demi sedikit aku pasti gila jika terus berada di rumah. Jadi 'bangun' dari tidur tidak terlalu buruk juga bagiku. Dasar labil!
Seperti sekarang ini, aku sedang berada di kampus. Entah kenapa sekarang aku benci juga dengan kampus. Orang-orang di sini terlihat sangat munafik, egois, dan mungkin gila juga. Tapi tidak dengan teman yang sudah kuanggap sahabat seperti orang yang sedang bersamaku saat ini.
"Belum sarapan?" tanyaku.
Dia hanya menggeleng.
"Kenapa? lo lemas gitu," kataku lagi.
"Memang biasanya juga begini kan?" katanya sambil terkekeh.
Ia menoleh kepadaku. "Tumben lo masuk kampus? biasanya gue chat gak pernah dibalas."
Oh iya, dia sering menghubungiku lewat pesan teks jika aku tidak masuk kampus. Entah kenapa dia jadi orang yang paling takut jika tidak ada kehadiranku disampingnya. Aku sangat beruntung memiliki teman sepertinya. Seperti ketika aku menganggap rumah sebagai sesuatu yang buruk dan dia adalah sesuatu yang indah bagiku.
"Lo kok gak masuk?" katanya dalam pesan teks.
"Kenapa, Nar? lo sakit?" katanya lagi.
"Bisa gak sih lo balas chat gue, Nar? kalau lo sakit, gue antar lo ke rumah sakit sekarang. Biarin tugas kampus gue tinggal aja asal lo jangan sakit."
Aneh, siapa juga yang sakit. Memang terkadang, rasa khawatir membuat seseorang tidak bisa berpikir dengan tenang. Namun aku kembali mengesampingkan egoku. Otakku kembali berpikir, bahwa temanku ini bukan khawatir, tapi peduli. Rasa yang tidak semua orang bisa dapatkan.
"Tapi gue lagi gak sakit!" balasku di pesan teks.
"Terus, kenapa lo gak masuk?"
Semakin semangat saja dia bertanya. Memang terkadang, beberapa orang bertanya karena mereka hanya ingin tahu, bukan peduli. Lagipula, bukankah tidak semua masalah lekas membaik jika orang lain diberitahu?
Tapi sudahlah, aku yakin temanku ini sangat peduli denganku. Bukan hanya sekedar ingin tahu atau berniat tertawa diatas penderitaanku. Di tengah jariku yang malas untuk mengetik, aku memilih untuk meneleponnya saja. Panggilan pun tersambung, alih-alih berkata, "Sudahlah, jangan terus-terusan lo pikirin gue. Gue udah capek sama kehidupan ini!" Aku justru bilang kepadanya, "Semangat kuliahnya ya, semoga besok gue masuk lagi. Hari ini gue lagi ada acara mendadak banget sama keluarga makanya gak bisa temani lo ngampus"
Tapi, kata-kata yang telah aku keluarkan untuk membuatnya menjadi tak semakin khawatir berakhir sia-sia. Ia malah semakin berapi-api di dalam panggilan telepon.
"Kenapa lo gak kabari gue sehari sebelum ngampus sih, Nar!"
"Gue tau lo kangen sama gue, Ra. Sabar ya, besok kita ketemu lagi."
"Iya, gue kangen banget sama lo. Kangen nyontek, apalagi kan hari ini ada matkul mengkaji puisi yang paling gue antikan kehadirannya."
"Persetan lo, Ra!"
-oOo-
To be continued ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Percikan Hujan yang Menyakiti Bumi [ON GOING]
Ficção AdolescenteSebuah Bagian Dari Dunia Pendongeng Disarankan untuk membaca Aksara Pendongeng terlebih dahulu. Ainar Danastri, dilahirkan sebagai anak bungsu dalam keluarga membuatnya menjadi anak yang paling disayang oleh orangtuanya. Namun di sisi lain, kecembur...