44. Pemakaman Jati Diri

325 60 58
                                    









Turut berduka cita ...















ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ



"Kenapa bisa-bisanya kau nekat keluar rumah saat sedang hujan begini?! Lihat! Demammu jadi semakin parah! Untung saja Tiff dengan cepat menemukanmu tadi! Bagaimana jika tidak?!"

Dia yang tak lagi diberi sedikit bagian dari sakit yang kurasa. Terjadi semenjak ia menyilakan Tuhan untuk hadir di hatinya. Apakah ini sebabnya ia urung melepas aku pergi?

"Maaf ... " Taehyun melirih. Merah mata sayunya menatap takut ke arah yang satu.

Hueningkai mengerang kesal. Bukan kepada Taehyun, melainkan marah pada dirinya sendiri yang lalai menjaga Taehyun untuk jumlah yang kesekian kali.

"Aku tidak mau mengikat tanganmu lagi seperti di rumah sakit waktu itu, jadi berhentilah berbuat nekat. Kau hanya membahayakan dirimu sendiri, Hyun. Aku tidak suka." Intonasi suaranya merendah, namun sorot matanya masih terbilang geram.

"Kai ... jangan marah ... "

Sensasi dingin dari sisa-sisa bekas tusukan air hujan masih menyergap sekujur tubuh meski suhu pada kulitnya dipastikan bagai air mendidih. Taehyun menggigil hebat. Melihat Taehyun yang seperti itu, Hueningkai jadi tak tega. Dia menyesal sebab terlanjur meluapkan emosinya yang menggebu secara kontan.

Taehyun tidak tahu saja, tentang bagaimana paniknya Hueningkai saat Tiffany tiba-tiba membangunkannya dan menyuguhkan sosok Taehyun dengan kondisi sekujur tubuh yang basah serta kesadarannya yang patut dipertanyakan. Hueningkai nyaris gila.

"Apa kau yakin tidak ada yang terasa selain demam?" Kali ini suaranya mengalun halus, tatapannya melembut. Hueningkai menyingkirkan kalut emosinya untuk sementara.

"Hanya demam," sahut Taehyun sesingkat napasnya yang semakin tercekat.

Hueningkai mengangguk percaya. Menyibukkan diri sejenak dengan cara membenahi handuk dan pakaian Taehyun yang tergeletak dengan kondisi basah di bawah lantai —untuk di pindah ke dalam keranjang baju kotor yang nantinya akan diambil Tiffany untuk dicucikan. Setelah selesai dengan kegiatan itu, Hueningkai lantas mengambil posisi duduk di atas lantai dengan punggung yang bersandar di sisi badan ranjang.

"Kenapa aku tidak pernah lagi mengalami hal itu? Apa koneksi kita terputus?" tanya Hueningkai yang bergumam dengan sorot mata lurus ke arah depan.

Taehyun berbaring miring, satu lengannya menyembul dari balik selimut yang berlapis tiga. Telapak tangannya mendarat di atas pucuk kepala Hueningkai untuk menyisir asal surai hitam sang adik dengan jemarinya yang masih berkeriput dingin.  "Itu? ... Apa?" suara seraknya menanggapi.

Hela napas panjang terdengar nyaring, namun Hueningkai diam-diam menikmati sentuh tangan Taehyun yang mulai memijat pelan dasar kulit kepalanya dengan gerak lembut.  "Sebagian yang terasa olehmu. Kau tidak pernah membaginya lagi padaku," adunya dengan raut sedih.

Sejenak, Taehyun tertegun. Dia mengira, Hueningkai akan senang sebab tak harus lagi menanggung sedikitpun bagian lukanya.

Jika dahulu bagiannya adalah bentuk hukuman atas peran sebagai pelaku tak beriman, maka Tuhan terbukti adil pada setiap makhluknya yang tersesat.

"Baguslah. Memang begitu seharusnya," sahut Taehyun dengan garis bibir yang mulai tersungging tipis.

Hueningkai menoleh cepat ke arah belakang, siap berkonfrontasi dengan unjuk tak sepakat. "Apanya yang bagus?! Rasanya seperti ada yang salah, asal kau tahu! Aku jadi mulai percaya bahwa kita bukan kembar ... "

TWIN FLAME || Taehyun & HueningKai ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang