40. Kilas Balik 3

2 1 0
                                    

Sidoarjo, beberapa bulan sebelum bencana

Teruslah mencari hingga kakimu tidak kuat lagi

Teruslah berusaha hingga tenagamu habis tanpa sisa

Ketika matamu terpejam, maka rasakanlah

Jangan engkau salahkan siapa-siapa

Bertanggung jawablah

Karena sejatinya, menyalakan lilin jauh lebih baik daripada mengutuk kegelapan

***

Pria itu mulai renta. Sosoknya tidak lagi sekuat dahulu. Keriput di wajahnya begitu terlihat. Jelas sekali bahwa sudah berkali-kali ia mencoba, tetapi selalu gagal. Kini tersisa sorot matanya saja yang tidak menunjukkan kata menyerah. Tentu saja, jika ia menyerah sekarang, bagaimana dengan keluarganya kelak? Bagaimana dengan nasib orang-orang di sana yang tidak bersalah?

Sungguh, jalan yang ia tempuh rasanya begitu berliku. Buah dari kesalahannya kini mulai membesar, tidak dapat dibendung lagi. Ia hanya bisa meminta pertolongan kepada mereka. Pada kelima remaja yang telah terpilih oleh takdir. Namun, sampai kapan ia harus mencari?

Tahun lalu, dua orang berhasil ia temukan. Masih sisa tiga lagi.

Ruangannya tampak remang-remang karena cahaya matahari perlahan bergerak turun sekaligus tengah tertutup awan kelabu. Meskipun begitu, sebuah papan nama jelas terlihat di atas meja. Papan nama berbentuk prisma segitiga berwarna putih dengan warna huruf yang kontras. Tertulis namanya di sana. Fero—kepala sekolah SMA Nusantara 05.

Langit di luar sana mulai menggelap. Cahaya matahari tergantikan oleh nyala lampu berbagai macam bangunan yang menjadikan ruangannya tidak terlalu kelam. Padahal ia tidak menyalakan lampu besar di tengah ruangan, ia hanya menggunakan lampu belajar yang menyorot tepat pada halaman yang terbuka.

Orang pertama yang berhasil ia temukan setelah satu tahun mulai mencari lagi adalah seorang siswi berusia enam belas tahun yang baru menjalani tahun pertamanya di sekolah menengah atas. Berkulit sawo matang dengan rambut pendek bergelombang. Kacamata bulatnya semakin memperjelas bahwa siswi itu tergolong cerdas. Sorot matanya saat difoto begitu tegas nan tajam, meski senyum kecil terukir di wajahnya. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa memang siswi itu yang ia cari.

Gayatri Kusuma Dewi. Kelas X IPA 3.

Kemudian, ia kembali mencari. Daftar siswa-siswi di depannya dibalik, menampilkan nama demi nama yang disertai foto serta profil singkat. Satu tangannya kini berhenti pada sosok siswi lainnya. Masih sama-sama di tahun pertama sekolah menengah atas. Seorang siswi berkulit putih agak pucat yang memiliki rambut hitam panjang. Senyumnya manis sekali. Kedua manik matanya bercahaya dalam gelap. Keramahan tampak jelas dari sana.

Azura Putri Yanuar, kelas X IPA 4.

Sama seperti tadi, ia juga mencatat orang keempat yang ia temukan. Kini tersisa satu lagi. Sensasi yang ia rasakan sebelumnya semakin menguat. Ia yakin bahwa tahun ini semuanya akan benar-benar berakhir dan kembali seperti semula.

Ya, benar.

Ia sendiri sebenarnya agak ragu akan menemukan kelima remaja itu di SMANA. Maksudnya, Sidoarjo itu luas. Tidak ada jaminan mereka akan menempuh pendidikan di tempat yang sama. Namun, pecahan Onyx yang bersemayam dalam tubuh kelima remaja itu dapat ia rasakan energinya.

“Mereka pasti bisa membantuku,” gumamnya lirih. Meski terdapat sisa penyesalan dalam hatinya, ia tetap harus melibatkan kelima remaja itu dalam misi. Ia bahkan tidak tahu sampai kapan bisa mempertahankan kesadarannya ketika pusaka leluhur Ansoncree semakin mengeluarkan energi yang bersifat merusak. Sebelum semuanya musnah, ia harus segera menemukan solusinya.

Solusi itu adalah kelima remaja yang dipilih langsung oleh Onyx.

Hanya, sebelum benar-benar ditemukannya orang kelima, mendadak ia batuk keras. Darah segar keluar dari mulutnya hingga mengotori daftar siswa-siswi di hadapannya. Dadanya ia pukul-pukul sedikit keras, berharap rasa sakitnya kian menghilang. Setelah batuknya reda, buru-buru ia mengambil beberapa tisu yang akan ia gunakan untuk membersihkan sisa darah.

“Bukankah aku sudah bilang untuk tidak memaksakan diri terlalu keras, Ayah?”

Sosok kepala sekolah SMANA itu terkejut ketika mendapati putrinya mendadak muncul. “Bagaimana caramu bisa sampai sini?” tanyanya.

Sang putri memutar bola matanya sedikit kesal. “Ayah lupa, kalau portal di Ansoncree Ayah biarkan terbuka? Mudah sekali aku masuk dari sana.”

Kepala sekolah SMANA itu mendesah keras. Lupa jika membiarkan portal penghubung antara bumi dan Ansoncree masih terbuka. “Tapi, kamu tidak boleh sembarangan datang ke sini, Sea. Nanti ada yang melihat.”

“Sekarang sudah malam, Ayah.” Sea bersikeras. “Enggak akan ada yang melihatku. Ayah tenang aja.”

Pak Fero pasrah juga. Ia memilih melihat-lihat kembali daftar siswa-siswi di hadapannya. Remaja kelima yang ia temukan ternyata berada di beberapa halaman menuju halaman terakhir. Namanya Sandy Taenia, kelas X IPS 1.

“Apa kakak itu yang kita cari?” tanya Sea.

Pak Fero mengangguk. Sama sekali tidak melepaskan pandangannya pada foto remaja di depannya. Sosok remaja yang tampak kecil, tetapi memiliki segudang prestasi luar biasa sejak berada di sekolah menengah pertama.

Hanya, Pak Fero sedikit merasa sedih ketika mendapati siswinya yang bernama Sandy Taenia itu ternyata tidak memiliki orang tua sejak lahir. “Anak yang malang,” komentarnya.

“Sudah lengkap semuanya, Yah?”

“Lengkap.” Pak Fero berkata pasti. “Begitu terjadi hal yang tidak diinginkan di Ansoncree, kamu ingat tugasmu, kan, Sea?”

“Ingat, Kok.” Sea menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Segera kirim pesan lewat radio dan memancing Kak Ares, Kak Dean, Kak Aya, Kak Zeera, dan Kak Sunni untuk ke gudang sekolah, kan? Serahkan aja padaku, Ayah. Aku enggak akan mengecewakan Ayah.”

“Anak pintar.” Pak Fero mengacak rambut Sea gemas. “Ibumu pasti bangga.”

Sea hanya mengulum senyumnya. Sebagai anak yang baru beranjak remaja, Sea sudah cukup mampu untuk menjalankan misi besar. Bukan hanya demi keberlangsungan hidup di Ansoncree, melainkan juga di bumi. Jangan sampai sekat pembatas menghilang atau keburukan akan menimpa semua orang.

“Ayah enggak bangga padaku?” tanya Sea, harap-harap cemas.

“Jangan ditanya, Nak.” Pak Fero menyejajarkan tinggi badannya dengan Sea. “Kamu masih berada di sisi Ayah saja, sudah membuat Ayah begitu bangga. Meskipun kamu tahu kesalahan Ayah di masa lalu, kamu tidak memarahi Ayah dan malah mendukung untuk memperbaiki semuanya. Terima kasih.”

Sea tampak menahan air matanya. Ia memilih tersenyum manis sambil memeluk Pak Fero erat sekali. “Apa kita akan berhasil? Bagaimana kalau pesanku enggak akan sampai?”

“Kamu tenang aja. Pemilik Onyx memang ditakdirkan untuk menjadi pahlawan bagi Ansoncree. Sesulit apa pun cara yang harus ditempuh, Ayah hanya berpesan satu hal. Jangan pernah menyerah.”

“Pasangan pusakanya?” tanya Sea lagi.

“Akan Ayah tinggalkan di sini. Di atas meja kerja Ayah.”

“Kenapa bukan Ayah sendiri yang mengganti pusakanya? Kenapa harus kelima kakak itu?” Sea masih tidak mengerti, rupanya.

“Tidak bisa, Nak. Hanya mereka, para remaja yang dipilih langsung oleh Onyx yang bisa.”

“Tapi, bagaimana caranya agar pasangan pusaka itu ada pada mereka, Yah?”

Di luar dugaan, Pak Fero justru tersenyum misterius. Hal itu sukses membuat Sea mengerutkan keningnya heran. “Ayah paling tahu bagaimana sifat Dean. Besok malam, Ayah akan kembali membuka portal. Datanglah kamu ke sini agar tahu semuanya.”

***

10 November 2024

Terimakasih

-Ros-

Da CapoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang