(H)ujan (B)ulan (D)esember

3 0 0
                                    

Serana berdiri dengan kepala tertunduk. Wajahnya memucat, tubuhnya terasa kaku seperti tertimpa beban yang terlalu berat. Ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan ayahnya kali ini—lebih dingin, lebih tajam. Kali ini tampak kecewa dengan cara yang membuat Serana merasa seperti dia sedang dipandang dengan penuh kecurigaan dan kebingungan. Tangan ayahnya terlipat di dada, dan matanya menyiratkan kemarahan yang coba ditahan, meskipun suaranya tetap stabil.

"Kamu pikir ayah bisa dibohongi gitu aja?" suara ayahnya menggema dalam keheningan ruang tamu, penuh dengan kesan yang tajam. "Untung teman kamu yang jujur itu ngasih tahu ayah, kalau selama satu tahun ini kamu fokus ke tetanggamu itu, jadi dia yang selama ini ganggu pembelajaran kamu?” suara ayahnya meluncur tajam, membuat Serana terdiam.

Serana menatap ke bawah, mencoba menghindari pandangan mata yang menusuk itu. Jantungnya berdetak lebih cepat, dan dalam hatinya, ada rasa cemas yang terus mengganggu. Dia sudah dengan jelas berkata pada Anggi agar tidak memberitahukan ayahnya tentang tugas kelompok itu. Anggi seharusnya menghormati keinginannya. Tapi kenyataannya justru berbalik—ayahnya tahu segalanya.

Wajah Serana tiba-tiba menjadi pucat pasi. Tubuhnya seakan kehilangan kekuatan untuk berdiri tegak. Sementara tatapan ayahnya tetap kokoh dan tak bergeming.

Rasa bersalah mulai menghimpit dada. Sekalipun dia tak sepenuhnya yakin apakah Anggi yang memberitahukan, dia tahu ini bukan masalah sekadar tugas. Ini tentang kepercayaannya yang runtuh, tentang janji yang dia langgar, tentang harapan yang sekarang hancur berantakan.
Serana menunduk semakin dalam. Kenapa dia bisa berbohong? Kenapa dia merasa takut mengungkapkan kenyataan? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di pikirannya. Semua yang dia lakukan—termasuk menutupi kesalahan kecil—ternyata memiliki konsekuensi yang jauh lebih besar.

Setelah kejadian itu, keesokan harinya, Serana merasa seperti sedang berdiri di tepi jurang—tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Hari pembagian nilai tiba, dan suasana hati Serana tidak jauh berbeda dengan perasaan cemas yang selalu menyertai setiap langkahnya.

Anggi menerima kertas nilai dengan senyum puas. Anggi menunjukkan progres yang luar biasa. Nilai Anggi 9,5 untuk Bahasa Inggris dan 90 untuk Matematika, keduanya semakin mencerminkan hasil kerja kerasnya yang tak pernah mengkhianati proses.

Sedangkan nilai Serana menurun drastis.

Bukan hanya turun 0,01.

Mata pelajaran bahasa inggris dapat nilai 60 sedangkan matematika 5,5.

Kebingungan dan kekecewaan melanda dirinya, namun tak ada waktu untuk merenung lebih lama. Bel istirahat berbunyi, Miss Lina memanggilnya ke ruang Bimbingan Konseling atas perintah Bu Ratri. Serana beranjak dari kursinya dengan langkah berat, seolah setiap langkah menuju ruang BK seperti akan membawa kabar buruk yang tak bisa dihindari.

Di dalam ruang BK, Bu Ratri sudah menunggu. Wajahnya yang serius menatap Serana dengan penuh perhatian. "Nilai kamu turun, Serana," Bu Ratri berkata tegas. "Kamu mengingkari kesepakatan. Tidak hanya itu, nilai mata pelajaran lain juga menurun. Kamu tahu apa artinya ini?"

"Dengan ini, kami sepakat bahwa beasiswa kamu dicabut. Jadi, kamu tidak perlu membuat laporan beasiswa lagi setiap semesternya." Bu Ratri menegaskan sekali lagi, menambah tekanan yang terasa berat di pundaknya.

Serana keluar dari ruang BK dengan lesu. Di depan ruangan, seperti biasa, ada Anggi yang menunggunya disana. "Na, maaf. Gue enggak bermaksud. Ayah lo gak percaya, jadi dia minta nomor wali kelas buat nanyain kepastiannya."

Serana hanya bisa mengangguk, tidak tahu harus berkata apa.

***

Serana pulang ke rumah, Ayahnya sudah menunggu di ruang tamu dengan tatapan dingin.

Hujan Bulan Desember Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang