(H)ujan (B)ulan (D)esember

3 1 0
                                    

Haloo.

Akhirnya aku nulis lagi disini, setelah kurang lebih dua tahun lamanya gak nulis. Sekalinya nulis, selingkuh ke naskah lain.
#hehe

****

"Baik, Serana. Akhir-akhir ini nilai kamu memang tidak menurun. Tapi ingat, kamu hanya punya satu kesempatan lagi untuk mempertahankan beasiswa ini. Nilaimu tidak boleh turun, bahkan meski hanya satu angka. Kamu tahu kan, apa konsekuensinya?" ujar Bu Ratri, nada tegas namun lembut, memandang Serana yang duduk berhadapan dengannya.

Serana mengangguk pelan, senyum sopan terlukis di wajahnya. Ia tahu benar bahwa jika nilainya sampai menurun lagi, beasiswanya akan hilang. Ketika ia duduk di kelas sepuluh semester dua, nilainya pernah turun 0,0001.

Catat, 0,0001.

Dan ia hampir kehilangan beasiswanya. Untung masih bisa di toleransi karena Serana hanya mempunyai satu kesempatan lagi untuk memperjuangkan beasiswanya sampai lulus. Jika itu terjadi lagi, maka beasiswanya akan dicabut.

"Apalagi tahun ini kan kamu naik kelas 12, kamu harus pertahankan kehadiran dan nilainya juga. Supaya bisa masuk ke daftar eligible. Jadi nanti kamu bisa ikut jalur prestasi.
Kalau bisa, kamu ikut lomba-lomba di dalam maupun sekolah yang menghasilkan piagam atau sertifikat. Itu membantu," jelas Bu Ratri, selaku guru bimbingan konseling, sambil mengeluarkan selembar brosur dari lacinya dan menyerahkannya pada Serana.

"Ini, ada kompetisi seni. Saya lihat nilai seni kamu yang paling tinggi tiap semester. Di kompetisi ini ada kategori menyanyi solo, tari, dan seni rupa seperti 2D maupun 3D. Pilih saja yang kamu minati."

Serana menerima brosur bertema seni itu dengan ekspresi ragu. "Baik, Bu. Terima kasih."

"Ya sudah, kamu boleh pulang," kata Bu Ratri, sambil menutup buku catatannya.

Serana berdiri, sedikit menundukkan badan untuk berpamitan, dan melangkah keluar ruangan. Di depan ruang BK, Anggi sudah duduk menunggunya. Begitu melihat Serana keluar, ia segera berdiri dengan ekspresi was-was. Anggi selalu khawatir pada sahabatnya yang satu ini, seolah ada rasa tanggung jawab besar untuk menjaganya, amanat dari orang tua Serana sendiri. Anggi adalah satu-satunya teman yang dipercaya keluarganya untuk menjaga Serana dari segala pengaruh buruk. Seperti halnya seorang ibu yang mengawasi setiap pergerakan anaknya yang hiperaktif.

Anggi yang penakut, dan Serana yang jahil. Mereka berdua sudah paket komplit.

Wajah mereka tak mencerminkan kepribadiannya masing-masing. Anggi seringkali ditakuti oleh para adik kelas yang baru mengenalnya. Katanya aura tukang labrak Anggi begitu kuat. Tatapan mata yang tajam, rambut ikal yang berwarna kecokelatan, serta raut wajah yang jarang sekali memancarkan senyuman. Tapi siapa sangka, di balik semua itu, ia punya suara dan hati yang lembut.

Berbeda dengan Serana, ia seringkali diganggu oleh orang tidak dikenalnya. Itu semua karena perawakannya yang kecil, jari-jari tangannya begitu mungil dan kurus, tekstur wajah yang polos, tetapi berhati iblis. Bahkan makhluk halus pun berubah menjadi makhluk kasar jika berpas-pasan dengan Serana. Seolah Serana adalah lawan yang sepadan.

Melihat wajah panik Anggi, Serana langsung menyiapkan rencana iseng di kepalanya. Ia pura-pura memasang wajah sedih, kedua netra cokelat nya menunduk dalam, tangannya menggenggam brosur itu, meremasnya hingga kertas itu tak berbentuk. "Gue ... Di skors sama Bu Ratri."

Wajah Anggi sudah pucat. Rambut ikalnya yang terurai panjang seolah menandakan begitu terganggunya pikiran Anggi yang selalu dipenuhi oleh rasa takut. Dia selalu serius dan tidak pernah ceria.

Anggi membulatkan kedua matanya, melirik pada secarik kertas yang Serana genggam erat-erat. "Itu surat peringatan, ya? Lo gila, Na? Lo ngapain?!"

Anggi panik. Ia takut. Ia tahu kemarin Serana memecahkan pot bunga milik tukang kebun demi mengalihkan perhatian satpam agar bisa masuk tanpa ketahuan karena terlambat. Kejadian itu terjadi di luar kendalinya karena Serana berangkat sekolah sendirian. Bagaimana jika orang tua Serana tidak mempercayainya lagi? Lalu Anggi tidak diberikan izin untuk berteman dengan Serana lagi.

Hujan Bulan Desember Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang