Cermin yang Menjaga Rahasia

1 0 0
                                    

Setelah beberapa jam berjalan melalui hutan lebat, Raindra dan kelompok penumpang yang selamat akhirnya menemukan rumah tua yang terpencil di tengah pulau. Bangunannya sudah sangat usang, dengan dinding kayu yang tampak rapuh dan atap yang hampir roboh. Tetapi, tidak ada pilihan lain—mereka harus berlindung dari malam yang semakin gelap.

Raindra berdiri di ambang pintu, menatap rumah itu dengan rasa curiga yang semakin mendalam. Meskipun tampaknya tak terpakai, ada sesuatu yang aneh di sini. Udara di sekitar rumah terasa lebih dingin dari seharusnya, dan meskipun tidak ada angin, dahan-dahan pohon di luar terlihat seperti bergoyang perlahan, seolah ada kekuatan yang tak terlihat.

“Ayo masuk,” suara seorang wanita yang selamat dari kecelakaan itu memecah keheningan. Suaranya bergetar, dan jelas bahwa ia juga merasa cemas.

Raindra menatap teman-temannya, yang lain juga tampak ragu, tetapi akhirnya mereka semua melangkah masuk. Begitu kaki mereka menyentuh lantai kayu yang berderit, atmosfer di dalam rumah terasa semakin tebal, seolah-olah ada yang mengawasi mereka dari setiap sudut. Suara pintu yang tertutup di belakang mereka seakan menutup segala harapan untuk melarikan diri.

Begitu mereka memasuki ruang utama, lampu senter yang mereka bawa menyinari berbagai barang yang sudah berdebu dan berantakan. Rak buku yang hampir roboh, meja kayu yang penuh dengan benda-benda antik, dan gambar-gambar yang menggantung di dinding. Namun, ada satu benda yang menarik perhatian Raindra—sebuah cermin besar yang berdiri tegak di sudut ruangan, menghadap ke pintu. Cermin itu terlihat sangat berbeda dari benda lainnya. Bingkai kayunya yang rumit dan usang seolah menahan waktu, tetapi permukaannya masih memantulkan cahaya dengan tajam.

Raindra mendekati cermin itu, menarik napas dalam-dalam. Ada sesuatu yang tidak beres dengan cermin ini. Bayangannya terlihat kabur, seperti ada kabut tipis yang menyelimuti dirinya. Saat ia mendekat lebih jauh, ia bisa merasakan udara menjadi semakin berat, menyesakkan. Ketika matanya bertemu dengan bayangan dirinya di dalam cermin, sesaat dia merasa ada sesuatu yang bergerak di belakangnya, tetapi saat ia berbalik, tidak ada siapa pun.

“Raindra, kau baik-baik saja?” Suara itu datang dari belakangnya, membuatnya terkejut. Salah satu penumpang yang bernama Dika, seorang pria muda yang lebih tenang dari yang lainnya, berdiri di dekatnya, mengamati cermin yang sama dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.

“Ada sesuatu yang aneh di sini,” jawab Raindra dengan suara rendah, tak ingin suara ketakutannya terdengar. “Seperti... cermin ini bukan hanya memantulkan bayangan kita.”

Dika hanya mengangguk, tampak serius. “Kita harus mencari tahu apa yang terjadi di sini. Ini tidak normal. Tidak mungkin pulau ini tidak ada yang menghuni. Ada yang menyembunyikan sesuatu.”

Mereka berdua berbalik dan bergabung dengan yang lainnya, tetapi Raindra tidak bisa melepaskan perasaan tidak nyaman yang datang begitu mendalam. Semakin lama ia memandang cermin itu, semakin jelas rasa tidak aman itu merasuki dirinya. Bayangan yang tercermin di dalam cermin mulai tampak sedikit berbeda, tidak hanya wajahnya yang tampak suram, tetapi ada sosok lain yang tampaknya berdiri di belakangnya—sebuah bayangan yang samar, tidak jelas.

Saat malam mulai larut, Raindra dan kelompoknya memutuskan untuk beristirahat. Mereka berbaring di lantai kayu yang keras, mencoba tidur meski ketegangan masih menggantung di udara. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang bisa benar-benar terlelap. Setiap suara di luar—hempusan angin atau daun yang bergesekan—terasa begitu menakutkan. Tidak ada yang tahu apa yang sedang mengintai mereka di kegelapan pulau ini.

Pagi datang dengan cepat, dan kelompok itu mulai mempersiapkan diri untuk menjelajahi pulau. Raindra merasa ada yang salah, ada sesuatu yang mengintai dari bayang-bayang, tetapi ia tidak bisa menahan rasa penasaran yang semakin membara. Mereka harus menemukan jalan keluar dari pulau ini.

Namun, sebelum mereka bisa melangkah keluar dari rumah, sesuatu yang aneh terjadi. Pintu depan yang sebelumnya mereka tutup dengan rapat, kini terbuka lebar. Tidak ada tanda-tanda siapa pun yang membukanya. Raindra memandang ke arah pintu yang terbuka dengan rasa takut. Ia merasa seperti ada yang mengundang mereka keluar. Sesuatu yang tidak terlihat, yang tidak bisa dijelaskan.

“Ayo, kita keluar,” kata Dika, mencoba menenangkan kelompok itu, meski suaranya jelas bergetar.

Mereka berjalan keluar rumah, dan saat kaki mereka menyentuh tanah, Raindra merasa matahari yang semula terasa begitu terang kini berubah menjadi dingin. Angin bertiup kencang, dan sesuatu di kejauhan menarik perhatian mereka. Suara bisikan halus mulai terdengar, bukan dari manusia, tetapi dari angin yang berhembus dengan cepat.

Sebuah suara yang sangat familiar.

Raindra menoleh, dan seketika itu pula, sesuatu yang tak terduga terjadi—bayangan yang ada di cermin tadi kini berdiri di hadapannya, menghadap dengan tatapan kosong. Cermin itu—atau apapun itu—telah mengikuti mereka keluar.

Trapped in the Mirror of DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang