Raindra menatap ketiga jalur yang terbuka di hadapannya. Setiap lorong tampak sama—gelap, penuh dengan bayangan, dan tak bisa diprediksi. Namun, perasaan aneh semakin menguasai dirinya, seakan ada sesuatu yang mendesak untuk memilih satu jalan.
"Jangan terburu-buru," suara Kian terdengar di sampingnya. "Kita harus hati-hati. Setiap keputusan di sini bisa berakibat fatal."
Raindra mengangguk, mencoba menenangkan diri meski ketegangan memenuhi udara. Sosok yang muncul di depan mereka semakin terlihat samar, seperti tergantung di antara dimensi yang berbeda. "Apa yang harus kami lakukan?" tanya Raindra, suaranya tidak lebih dari bisikan.
Sosok itu menggerakkan tangannya dengan perlahan. "Sebelum kalian memilih, ketahuilah bahwa setiap jalan yang kalian ambil akan menguji hati kalian. Salah satu dari kalian mungkin akan terpisah, atau lebih buruk, kalian semua akan terperangkap."
Zora menggenggam tangan Kian erat-erat. "Kami akan memilih bersama. Tidak ada yang akan terpisah."
Namun, suara itu kembali bergema, menyoroti keraguan yang mengendap. "Itu bukan pilihan kalian untuk dibuat. Kalian tidak akan bisa menghindari ujian. Hanya mereka yang benar-benar siap yang akan mampu bertahan."
Raindra merasa ada getaran aneh di dalam dadanya, seperti ada suara bisikan yang tak bisa didengar oleh yang lain. "Ini bukan hanya tentang memilih jalan, kan?" Ia berusaha mengontrol dirinya. "Ini tentang keputusan yang lebih besar."
Sosok itu tersenyum tipis, sebuah senyum yang tampak seperti menyembunyikan kebijaksanaan yang tak terungkapkan. "Benar. Pilihan ini adalah ujian tentang siapa kalian sebenarnya. Setiap jalan akan membawa kalian pada sisi diri kalian yang belum kalian kenal."
Raindra merasakan perasaan yang semakin kuat, seakan sesuatu yang lebih dalam ingin ia ungkap. Namun, ia tidak bisa melupakan batu hitam yang ada dalam tasnya. Batu itu... ada yang berbeda dengan dirinya.
"Sudah cukup," suara Kian terdengar tegas. "Kita harus pilih sekarang."
Zora menarik napas panjang. "Raindra, jalan yang mana yang kita pilih?"
Raindra menatap setiap lorong. Salah satunya terlihat lebih gelap dari yang lainnya, lebih menakutkan. Yang kedua memiliki cahaya samar, namun sepertinya lebih berliku dan penuh teka-teki. Sementara yang ketiga tampak lebih terang, meski ada ketidakpastian yang menyertainya.
Dika yang dari tadi diam, akhirnya membuka suara. "Kita harus ingat apa yang sudah kita pelajari sejauh ini. Jalan yang paling terang bukan berarti yang paling aman. Tapi yang paling gelap bisa jadi jalan yang paling sulit."
Raindra mengangguk, menyadari bahwa tidak ada jalan yang benar-benar aman. Semua pilihan mengandung risiko. Namun, ia merasakan dorongan kuat menuju lorong yang paling gelap. "Aku rasa jalan yang gelap ini... mengarah ke sesuatu yang lebih dekat dengan kita."
Zora menatap Raindra dengan cemas. "Tapi itu bisa saja jebakan. Kita tidak tahu apa yang ada di dalam."
Raindra menoleh pada Zora dan Kian. "Kita datang ke sini untuk mengungkap kebenaran, bukan untuk bermain aman. Kalau kita tidak mengambil risiko, kita tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya tersembunyi."
Kian memandang Raindra sejenak, kemudian mengangguk. "Kita ikut pilihanmu."
Dengan hati yang berdebar, mereka mulai melangkah menuju lorong yang paling gelap. Setiap langkah mereka terasa semakin berat, seolah-olah ada sesuatu yang menekan dada mereka. Udara semakin dingin, dan raungan angin terdengar semakin keras di telinga mereka. Tidak ada suara lain, hanya langkah kaki mereka yang bergema.
Di dalam lorong itu, mereka menemui sebuah pintu besar yang tertutup rapat. Pintu itu terbuat dari batu hitam pekat, dengan ukiran yang tak jelas—seperti simbol kuno yang mengelilinginya. Raindra mendekati pintu itu, merasakan sebuah dorongan tak terjelaskan. Batu hitam di dalam tasnya mulai bergetar lebih keras, seolah-olah merespons keberadaan pintu tersebut.
"Kita harus membuka pintu ini," kata Raindra, menatap Kian dan Zora.
Zora ragu. "Bagaimana kalau kita salah? Apa yang terjadi kalau kita membuka pintu ini?"
Raindra merasakan keberanian yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. "Kita tidak akan tahu sampai kita mencoba. Kita sudah sampai sejauh ini. Kita harus mengambil langkah itu."
Dengan satu tarikan napas dalam-dalam, Raindra meraih batu hitam yang masih berada dalam tasnya dan menempatkannya pada ukiran di pintu. Sesaat setelah batu itu bersentuhan dengan ukiran, sebuah suara keras terdengar, dan pintu batu mulai bergerak, membuka perlahan.
Sebuah cahaya biru terang menyembur keluar dari dalam ruangan, menyilaukan mata mereka. Raindra menatap cahaya itu dengan takjub, merasakan kekuatan yang mengalir di dalam tubuhnya.
Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, sebuah suara terdengar, keras dan memaksa. "Kalian memilih jalan ini. Kalian akan menerima konsekuensinya."
Sebelum mereka bisa menanggapi, pintu terbuka sepenuhnya, dan di dalamnya—di tengah cahaya biru yang membutakan—terlihat sebuah objek besar yang menggantung di udara. Itu adalah sebuah kotak misterius, berlapis emas, dengan ukiran yang serupa dengan yang ada pada batu hitam.
"Ini... apa?" Raindra bergumam, merasa cemas namun tertarik.
Tiba-tiba, suara keras menggelegar terdengar, dan sebuah makhluk besar muncul dari dalam cahaya itu. Sebuah bayangan hitam yang memunculkan dirinya perlahan-lahan, melangkah maju dengan kaki besar dan mata yang menyala merah.
Mereka kini terjebak dalam ujian terakhir mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trapped in the Mirror of Death
Bí ẩn / Giật gânRaindra Wicaksana, seorang pemuda yang hidup biasa di kota besar, tak pernah membayangkan bahwa liburan singkatnya akan berubah menjadi mimpi buruk yang tak terhindarkan. Setelah kecelakaan pesawat yang mengerikan, ia terdampar di pulau terpencil ya...