"Lied to her is slowly hurting me."

15 1 0
                                    

Edna POV


"Welcome to my home sweet home,"

Liel melangkah perlahan memasuki rumah kontrakanku dengan hati-hati. Ia menengadahkan kepalanya dan melihat ke sekeliling rumahku seakan sedang memindai setiap detilnya.

"Jangan kayak gitu dong, El. Lo kayak detektif lagi nyari petunjuk tentang pembunuhan berencana." Kataku sambil tergelak.

Liel menatapku dan tersenyum ringan. "Rumah kamu lucu. Luarnya kasih kesan vintage, tapi dalemnya luas dan mewah juga."

"Vintage?" Aku mencibir. "Bilang aja tua, susah amat."

Liel tertawa. "Setidaknya pemilihan kata 'vintage' terkesan lebih sopan dan elegan."

Aku mengibaskan tangan sambil lalu. "Ya, ya. Whatever."

"Kamu tinggal di sini dengan siapa, Ed?"

"Sama Nata," aku melongokan kepala ke dalam kulkas dan menyomot botol minuman bersoda dan beberapa makanan ringan.

"Nata? Siapa tuh?"

"Saudara sepupu gue. Dulu dia tinggal di Singapura sekalian kuliah, tapi begitu kelar kuliah, dia balik lagi ke Jakarta," aku menuangkan minuman bersoda tersebut ke dalam gelas sambil terus berbicara, "tapi dia nggak mau tinggal sama orangtuanya lagi. Katanya bosan, lagipula dia udah gede, udah kerja. Jadinya, orangtua dia minta dia tinggal di sini bareng gue sejak setahun yang lalu."

"Terima kasih," kata Liel saat aku menaruh minuman di atas meja di hadapannya. "Jadi, dulu kamu tinggal sendirian?"

"Yap. Dari 2 tahun yang lalu lah."

"Oohh," Liel mengangguk-anggukkan kepalanya dan kembali bertanya, "lalu, dimana Nata?"

"Kerja, lah. Dia asisten designer di éclat," jawabku sambil menyebutkan salah satu butik asal Perancis itu.

"Wah, hebat sekali." Sahut Liel dengan mata kagum.

"Yeah, she is." Aku terkekeh pelan

"Kenapa?"

"Nope. Jujur aja, gue sering ngerasa iri sama Nata. Kerjaannya pasti, duitnya banyak, cantik pula," aku menunjuk ke arah pigura di dinding dekat kami. Pigura yang menampilkan sosok Natasha Tirani sedang berpose centil namun tetap terlihat elegan. "tuh, liat aja orangnya."

Liel menegok ke arah yang kutunjuk dan menganggukan kepalanya.

"Cantik." Liel mengamatinya lagi, "rambutnya keren."

"Abu-abu kayak bule gitu ya?" aku terkekeh. "Dia suka ngewarnain rambut,lho. Dulu, waktu baru-baru dateng dari Singapura, rambutnya warna shocking pink, loh. Gue aja sampe kaget banget rambutnya jadi kayak gulali kelebihan pewarna gitu."

"Hahahahahah!" Niel tertawa geli sampai wajahnya memerah. "Ungkapanmu nggak wajar banget, Ed."

"Memang betul kok."

"..."

"..."

Aku berdeham. "Kita kebanyakan ngobrol nih, jadi lupa deh tujuan lo kesini apa."

Aku segera bangkit dari sofa dan mengambil Macbook-ku yang terletak di atas nakas samping TV.

"Just for your information aja nih, Liel. Ini permintaan tolong yang paling rumit yang pernah gue terima dalam sejarah jadi admin PS selama setahun."

Liel menatapku dan tersenyum suram. "I'm sorry, Ed. Saya nggak tau harus minta tolong ke siapa lagi."

Aku balas tersenyum padanya. "PS itu hanya website pemberi saran terhadap masalah-masalah ringan, El, honestly. Seperti cara membersihkan kaca yang benar, cara merawat binatang peliharaan dengan baik, cara berteman yang positif, motivasi-motivasi simple, dan kasus-kasus lain yang sebenernya simple tapi dibesar-besarkan sama penanya."

PSWhere stories live. Discover now