02: Permen

134 107 73
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Keesokan harinya, matahari bersinar cerah menyinari desa kecil tempat tinggal Lala dan Nofal. Di depan rumah Lala yang sederhana, dua sahabat kecil itu sedang bermain dengan penuh semangat. Lala, dengan rambut panjang yang diikat dua dan mata cerah, duduk di atas lantai rumahnya, memainkan boneka-boneka yang disusun rapi di depannya. Nofal, sahabatnya yang selalu ceria, duduk di sebelahnya sambil menggenggam lollipop merah cerah yang baru dibelinya dari toko kecil di ujung jalan.

"Aku nggak bisa deh hidup kalau nggak ada permen, Laa!" kata Nofal dengan suara ceria, menggigit permen dengan gembira. Dia mengulum permen itu dengan ekspresi puas di wajahnya, menikmati setiap rasanya.

Lala mengangkat wajahnya sedikit dan menatap Nofal dengan tatapan penuh perhatian. Meski sedikit terganggu melihat temannya makan permen terus, Lala tetap berusaha sabar. Dia tahu Nofal memang suka sekali dengan permen, tapi dia juga khawatir dengan gigi Nofal yang selalu dipenuhi sisa permen setelah makan.

"Nopaal, kamu tuh makan permen terus. Nanti gigi kamu sakit!" Lala mengingatkan, sambil mendekati Nofal dengan wajah serius.

Nofal yang sedang menikmati permen, mendongak dan melihat wajah Lala yang terlihat khawatir. Dengan suara manja, dia berkata, "Gigi aku nggak sakit kok, La! Lagian, permen itu kan enak, aku nggak bisa stop buat makannya!"

Lala menggelengkan kepala, seolah sudah tahu jawabannya. "Tapi kalau kamu makan permen terus, nanti gigi kamu bisa bolong. Kamu nggak mau kan gigi kamu bolong?"

Nofal memutar bola matanya, berpura-pura serius meski jelas dia tidak terlalu peduli dengan nasihat Lala. Sambil melanjutkan mengulum permen itu lebih dalam, dia menjawab, "Gigi aku nggak bakal bolong, Laa! Gigi aku kuat kok!"

Lala melipat tangannya dan mendekat lebih dekat. "Nopal, kamu tuh harus udahan makan permennya kalau nggak mau gigi kamu rusak! Nanti kalau sakit, kamu bakal nyesel!"

Namun, Nofal hanya mengedikkan bahu dan melanjutkan kegiatannya, seolah tidak terpengaruh oleh ancaman itu. Lala yang melihat itu akhirnya menggigit bibirnya. "Yaudah, kalau gigi kamu nanti sakit, jangan nyalahin aku ya."

Nofal yang tidak mendengarkan peringatan itu, tiba-tiba berpura-pura kesakitan dengan suara dramatis, sambil menahan pipinya dengan kedua tangan dan melengkungkan wajahnya seolah-olah benar-benar kesakitan. "Aduh, sakit banget, La! Gigi aku sakit, Laaa...!"

Lala, yang seharusnya khawatir, justru terkejut dan hampir tertawa melihat kelakuan Nofal yang berlebihan. Sedikit terkejut, dia berkata, "Aduh, kamu kenapa sih, Pal? Jangan bercanda kayak gitu!"

Nofal terus merintih dengan wajah penuh drama, menambahkan keluhan supaya Lala percaya bahwa giginya benar-benar sakit, sambil berpura-pura menahan rasa sakit yang tidak ada. "Aduh, Laa! Gigi aku sakit banget! Kayak ada yang mukulin gigi aku!"

Lala yang melihat Nofal berakting seperti itu, tidak bisa menahan tawanya. Tapi dia cepat-cepat menahan tawa dan berpura-pura serius, sambil menarik tubuh Nofal ke arahnya. "Sini, sini! Aku cek gigi kamu!"

Nofal dengan lincah menggerakkan badannya, seolah-olah benar-benar kesakitan, dan Lala mulai memeriksa mulut Nofal dengan penuh perhatian. Meski Lala hanya melihat ke dalam mulut Nofal sekejap, dia tetap mencoba berakting dengan serius.

"Hmm... ya ampun, kamu makan permen terus ya? Nih, banyak sisa permen di gigi kamu. Makanya gigi kamu bisa sakit!" kata Lala, mencoba terlihat seperti seorang dokter gigi berpengalaman.

Nofal terkejut mendengar perkataan Lala. Meski dia tahu ini cuma main-main, dia berpura-pura takut, meskipun sebenarnya dia tidak merasa sakit sama sekali. "Hah? Bolong? Gigi aku bolong, La?"

Lala mengangguk dengan serius. "Iya, kalau kamu terus-terusan makan permen, bisa bolong! Nanti kalau gigi kamu bolong, bisa susah banget buat makan lagi, tau!"

"Aduh, aku nggak mau gigi aku bolong, Laa! Gimana dong?" tanya Nofal dengan sedikit panik, suaranya agak kaget seolah-olah dia benar-benar khawatir.

Lala, yang mulai menikmati peran dokter giginya, melipat tangannya di dada dan menyeringai dengan nada yang sangat serius. "Ya, kamu harus stop buat makan permen banyak-banyak! Gigi kamu itu harus dijaga biar nggak sakit. Kalau sakit beneran, kamu nggak bakal bisa makan permen lagi!"

Nofal menggigit bibirnya dan menatap Lala dengan cemas sambil memegang permen lollipop yang masih ada di tangannya. "Aku nggak bisa hidup tanpa permen, La! Permen itu temen baik aku!"

Lala menggelengkan kepalanya dengan penuh perhatian sambil mencoba memberi nasihat yang membuat hati Nofal sedikit sesak. Dia jawab, "Permen tuh emang enak, Nopaal, tapi gigi kamu itu lebih penting. Kalau gigi kamu rusak, kamu nggak bakal bisa makan permen lagi!"

Nofal, yang mendengar nasihat itu, tiba-tiba melompat berdiri dengan wajah cemas dan mata berbinar-binar penuh harap. "La, aku janji deh, aku nggak makan permen banyak-banyak lagi! Tapi... satu lagi aja deh, ini permen terakhir, yaa?"

Lala, yang awalnya sangat serius, merasa kesal juga. Tapi dia tahu Nofal benar-benar sahabat baiknya, dan dia tidak ingin membuat Nofal terlalu takut. Lala tegas, meskipun dengan sedikit senyuman di wajahnya. "Satu aja ya, tapi janji nggak banyak-banyak lagi, Nopal. Kalau nggak, nanti kamu nggak bakal bisa makan permen lagi seumur hidup, loh!"

Nofal langsung melompat kegirangan. Dia langsung menggigit lollipopnya lagi dengan penuh semangat. "YES! Makasih, La! Aku janji, cuma satu kok! Hahaha!"

Lala menggelengkan kepala sambil tersenyum, tapi dalam hatinya dia merasa senang melihat Nofal begitu bahagia. "Yaudah, tapi kalau sakit gigi beneran, jangan salahin aku, ya!"

Nofal mengangguk dengan sangat serius, meskipun dia tahu itu cuma permainan. "Iya, iya! Aku janji nggak nyalahin kamu, Laaa. Makasih banyak, dokter gigi Lala!"

Lala tertawa mendengar ucapan Nofal yang kocak. Mereka berdua tertawa bersama-sama, dengan tawa yang tulus dan ceria. Di dunia kecil mereka, tidak ada yang lebih penting selain kebahagiaan mereka saat itu. Lala dan Nofal tahu bahwa meskipun ini hanya permainan, ini adalah momen yang akan dikenang selamanya.

Di bawah langit biru yang cerah, dua sahabat itu terus menghabiskan waktu mereka dengan penuh tawa dan kegembiraan, bermain peran dokter gigi dan pasien, dengan imajinasi dan kebahagiaan yang tak terbatas. Mereka tahu bahwa kebahagiaan sejati datang dari persahabatan yang tulus, meskipun permainan sederhana ini. Sebuah permainan yang, meskipun hanya pura-pura, mengikat mereka lebih erat lagi sebagai teman terbaik.



 Sebuah permainan yang, meskipun hanya pura-pura, mengikat mereka lebih erat lagi sebagai teman terbaik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lembaran BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang