"Aku emang nungguin kamu balik, Nofal, tapi bukan kayak gini. Aku pikir, kalau kamu pulang, semuanya bakal berubah, semuanya bakal kayak dulu lagi. Tapi nyatanya, yang aku temuin cuma sosok kamu yang udah jauh berbeda."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Cahaya matahari pagi perlahan menyelinap dari balik bukit, menerangi desa kecil yang dikelilingi hamparan sawah hijau dan pepohonan rindang. Kicauan burung menggema, melukiskan suasana pagi yang penuh kehidupan.
Di salah satu rumah di desa itu, seorang gadis kecil bernama Lala, berusia enam tahun, mulai terbangun dari tidurnya. Ia menggeliat pelan di atas kasur, menguap lebar sambil menggosok mata. Rambutnya masih acak-acakan, tapi senyum kecil sudah menghiasi wajahnya.
"Hari ini mau main apa, ya?" gumamnya pelan, setengah mengantuk.
Bangkit dari tempat tidur, Lala berteriak, "Ibu!" suaranya menggema di dalam rumah kecil itu.
Di dapur, ibu Lala sedang sibuk menyiapkan sarapan. Ketika mendengar suara putrinya, ia menoleh dan tersenyum hangat. "Pagi, Sayang. Udah bangun? Ayo, cuci muka dulu, biar seger."
Lala mengangguk kecil, kemudian beranjak ke kamar mandi. Air dingin membasuh wajahnya, menyapu sisa kantuk yang masih melekat. Tak lama, ia kembali ke dapur, duduk di kursi kayu yang sudah mulai lapuk di meja makan.
"Ini sarapannya, Sayang," ujar sang ibu sambil meletakkan sepiring nasi goreng hangat dan segelas susu di depan Lala. "Makan yang banyak, ya, biar kuat main sama Nofal."
Mendengar nama sahabatnya disebut, mata Lala langsung berbinar. "Iya, Bu! Nopaal nanti main ke sini, kan?"
"Tadi pagi dia bilang ke Ibu mau main ke sini," jawab ibunya lembut. "Tapi kamu sarapan dulu. Jangan buru-buru, nanti malah keselek."
Lala mengangguk lagi, namun tetap menyantap makanannya dengan cepat. Ia tak sabar bertemu Nofal, sahabat baiknya yang berusia delapan tahun. Hampir setiap pagi, mereka bermain bersama, menjelajahi sudut-sudut desa.
Benar saja, tak lama kemudian terdengar suara ketukan di pintu, diiringi teriakan riang. "Assalamu'alaikum! Laaalaaa! Udah bangun belom?"
Lala melonjak dari kursinya, berlari sambil menjawab, "Wa'alaikumsalam! Udah, aku udah bangun kok!"
Ia membuka pintu dengan semangat. Di sana berdiri Nofal, dengan senyum lebar yang membuat matanya menyipit. Bocah itu mengenakan kaus lusuh dan celana pendek yang penuh noda, siap untuk bermain tanpa peduli kotor.
"Nofal, udah sarapan belum? Kalau belum, ayo makan dulu di sini," tawar ibu Lala.
Nofal menggeleng sopan. "Udah, Tante. Aku tadi sarapan di rumah."
"Ya udah, main di halaman aja, jangan jauh-jauh, ya," pesan ibu Lala.
"Siap, Tante!" sahut Nofal. Lala segera menarik tangannya, menyeretnya ke halaman depan.
"Ayo, kita main! Aku udah nggak sabar nih!" seru Lala dengan mata berbinar.
Mereka berlari ke halaman rumah yang masih basah oleh embun pagi. Burung-burung berkicau riang, seolah ikut menyambut keceriaan mereka.
"Main petak umpet aja! Udah lama kita nggak main itu," jawab Nofal dengan semangat. "Tapi aku bakal sembunyi di tempat yang keren banget. Kamu nggak bakal bisa nemuin aku!"
Lala tertawa kecil. "Oke, tapi aku yang jaga dulu, ya!"
Nofal mengangguk. Ia langsung berlari mencari tempat persembunyian. Pandangannya menyapu halaman, sampai matanya tertuju pada semak lebat di dekat pagar. Dengan hati-hati, ia berjongkok di baliknya, menyembunyikan tubuh kecilnya di antara tanaman rambat.
Sementara itu, Lala mulai menghitung. "Satu... dua... tiga..." suaranya lantang, meski hitungannya sedikit kacau saat sampai di angka sepuluh. "Sepuluh... sebelas... dua belas... lima belas... eh, berapa ya? Enam belas... sembilan belas... dua puluh!"
Ia membuka matanya dan tertawa kecil. "Nopaal, aku mulai cari, yaaaa!"
Di balik semak, Nofal menahan tawa mendengar hitungan Lala yang berantakan. Ia merapatkan tubuhnya, mencoba untuk tetap tenang.
Lala berjalan perlahan, mengintip ke balik pohon besar, lalu jongkok untuk memeriksa bawah bangku taman. Tak ada tanda-tanda Nofal di sana. Namun, saat ia melihat ujung sepatu yang mencuat dari balik semak, senyumnya melebar.
"Hah! Ketemu juga kamj, Nopaaaal!" serunya sambil berlari mendekat.
Nofal tertawa, mengangkat kedua tangannya. "Wah, ketauan deh."
Kini giliran Nofal berjaga. Ia mulai menghitung dengan suara lantang, sementara Lala berlari ke samping rumah. Matanya menangkap sebuah drum bekas. Dengan cekatan, ia berjongkok di belakangnya, berharap tempat persembunyiannya aman.
"Sembilan belas... dua puluh! Siap atau nggak, aku cari, ya!" seru Nofal penuh semangat.
Ia mulai menyusuri halaman, berpura-pura bingung. "Hmm, di mana ya Lala sembunyi?" gumamnya, mendekati semak dan pohon besar. Ketika bayangan kecil terlihat di balik drum, ia menahan senyum.
"Hah, susah banget nih cari Lala," katanya, pura-pura menyerah.
Lala yang mendengar itu terkikik pelan, namun suara tawanya malah menjadi petunjuk.
"Aha! Ketauan juga kamu, Laa!" seru Nofal sambil melompat ke belakang drum.
Nofal mengangguk dengan senyum nakal. "Iya dong, biar kamu seneng dulu!"
Hari itu, tawa dan canda mengisi pagi mereka. Waktu berlalu tanpa terasa, hingga matahari mulai condong ke barat. Kedua sahabat itu akhirnya harus pulang, membawa kenangan indah yang akan mereka simpan sampai esok pagi.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.