"Lu, kamu enggak berniat berhenti?" tanya perempuan separuh bayu itu tampak cemas memandang punggung perempuan di hadapannya.
"Berhenti apa, Mbak?" sahut Lulu membalikan tubuhnya.
"Berhenti itu, Lu. Profesimu sekarang. Kamu tidak takut dibicarakan tetangga-tetangga kah?"
Raut wajah Lulu seketika berubah. Mungkin marah, kesal, sedih, entahlah. Binka hanya menoleh dan mengusapkan wajahnya ke kaki perempuan itu.
"Maksud mbak profesiku melacurkan diri? Jadi simpanan om-om? Itu Mbak? Yang membuatku menjual tubuhku dan bertransaksi dengan laki-laki hidung belang itu? Atau yang membuatku bisa membiayai hidup dan sekolah adik-adikku? Itu Mbak?"
"Masih banyak pekerjaan lain yang tanpa harus merendahkan dirimu."
"Rendah? Apakah salah jika berarti aku bisa meninggikan derajat adik-adikku? Toh banyak perempuan selain aku yang juga bertransaksi tapi berkedok pacaran ataupun pernikahan. Yang habis dibujuk rayu laki-lakinya, ditiduri, terus ditinggal pergi. Atau atas nama cinta rela dipukuli tunangannya sampai hampir mati. Atau yang ditinggali hutang beratus-ratus juta sama suami pemalas mokondo? Itu yang namanya tidak merendahkan ya, Mbak?
"Kamu sulit diberitahu ya, Lu."
"Memang, Mbak. Selama ini kalian kemana saja di saat aku kesulitan dan terpuruk? Sudahlah, Mbak. Ini pilihan saya dan saya bahagia. Mbak, lebih baik urus adikmu saja. Dihamili dan ditinggal kabur pacarnya kan?" ucap Lulu beranjak pergi membawa pergi Binka, meninggalkan perempuan separuh baya itu merenggut.