[BROTHERSHIP] [100% FIKSI]
Satu peti, satu jiwa, dua raga.
•••
Yang mereka suguhkan bukanlah fantasi, bukan pula komedi. Berharap inspiratif, justru ironi yang terjadi. Terima saja apa adanya si kembar sial yang terikat dalam silang sengkarut atas p...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Tiff, demamnya ... "
Tiffany meraih termometer digital yang baru saja Hueningkai sodorkan dengan tangan gemetar. Wanita itu menarik habis napasnya yang hari ini terasa begitu berat, angka empat puluh dua yang tertera pada alat pengukur suhu tubuh tersebut berhasil membuat Tiffany lemas bukan main.
"Aku lelah, Tiff ... "
Mengesampingkan campur aduk rasa yang tengah meliput hatinya yang penuh gusar, Tiffany lebih memilih untuk merengkuh Hueningkai yang tampak jauh lebih kacau darinya malam ini. Tak dapat menahan diri untuk mengecupi pucuk kepala anak itu berkali-kali, juga mengusap surainya selembut mungkin. Berharap ada sisa kekuatan yang bisa Tiffany salurkan kepadanya di detik-detik penantian tentang kapan semua ini akan berakhir.
"Kapan ini semua akan berakhir?...."
Habis sudah David dirutuk oleh Tiffany walau hanya sekedar menggunakan suara dalam hati. Meski tahu bahwa lelaki itu telah mati, namun tak memungkiri bahwa karmanya masih tertinggal di sini. Karma yang tengah kalut oleh sebab ketakutan akan tertinggal sendiri.
"Aku tidak tahan lagi ... "
Racau putus asa itu Tiffany biarkan mengalir sendiri. Tak ada alasan untuk ia menguatkan Hueningkai dengan kalimat-kalimat yang fungsi berartinya telah habis.
Meski obat penurun panas telah diberikan sebanyak dua kali menggunakan tindak injeksi, namun demam ekstrem yang Taehyun alami sejak dua jam yang lalu tetap tak kunjung membaik. Sebaliknya, angka pada termometer digital terus menanjak naik secara berkala.
Egoisnya berkata untuk menyerah saja dan serahkan Taehyun kepada yang lebih ahli. Namun di saat yang bersamaan, Tiffany juga terkekang oleh sisi kemanusiaannya yang tak mengizinkan untuk mempertahankan Taehyun lebih lama lagi. Toh, di rumah sakit pun tak jauh berbeda —tak ada satupun obat atau alat tercanggih guna menghilangkan kanker yang bersarang di tubuh Taehyun dalam sekejap.
Sebaliknya, usaha dalam mempertahankan detak Taehyun dengan tindak medis yang berlebihan, sama saja dengan memberi kanker itu perpanjangan waktu untuk mengurung Taehyun lebih lama lagi bersama dengan kesakitannya.
Dan pada akhirnya, Tiffany memutuskan untuk menepati janji pada Taehyun yang sempat berpesan; tak ingin menghabiskan sisa waktunya di rumah sakit sebagai pasien dengan gelang ungu yang tersemat di pergelangan tangan.
"Istirahatlah. Aku akan menggantikanmu malam ini," putus Tiffany yang hatinya tengah memiris melihat Hueningkai yang sedari tadi menangis tiada henti.
Lagi, Tiffany mendesah kalut di kala Hueningkai meresponnya dengan gelengan kecil. "Taehyun membutuhkanku," tutur anak itu dengan suara seraknya yang masih terselip isak.
Usai menghapus jejak-jejak air mata yang membekas di wajah Hueningkai, Tiffany lantas mengantarnya untuk kembali ke kamar tempat Taehyun berada. Langkah Hueningkai riskan limbung, membuat Tiffany harus mengait lengan anak itu sembari menuntunnya berjalan dengan benar.