06 :: Pecah

202 70 7
                                    

Persetan kalau Taeyong terlalu cepat menerima umpan Jisoo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Persetan kalau Taeyong terlalu cepat menerima umpan Jisoo. Setidaknya ini satu-satunya cara yang paling mudah dan ideal yang terlintas di kepalanya. Tadinya Jisoo hendak meminta bantuan Taeyong untuk memudahkan skripsinya—-tentu saja ini rencana dangkal. Tapi meminta Taeyong untuk bicara banyak tentang Pak Gani itu lebih potensial.

Alhasil Jisoo sekarang duduk di kursi teras. Bermodalkan tab di tangan kiri, Jisoo siap untuk menerima informasi penting-takpenting dari orang ini, menerima data tambahan dari lelaki yang tengah menopang dagu seraya memandang taman di rumahnya lempeng.

Untuk sejenak Jisoo dibuat terdiam begitu memperhatikannya. Taeyong itu lebih tua darinya, tapi kenapa wajahnya terlihat muda sekali? Kalau orang ini mengaku umurnya baru memasuki kepala dua juga Jisoo akan percaya. Secara fisik Taeyong memang terlihat segar dan seperti abg muda, hanya saja Jisoo berharap orang ini tidak membuka mulut untuk bicara.

Soalnya cara bicaranya seperti orang tua, sih. Mirip seperti ayah.

"Sudah berapa lama kamu kerja di sana?" Taeyong tiba-tiba bertanya, menoleh pada Jisoo dengan ekspresi lempeng sembari menaruh gelas kopi ke atas meja. Jisoo membalasnya dengan ulasan senyum ceria, sebuah senyum palsu.

"Hmm udah mau setengah tahun, sih," sahutnya, "saya suka kerja di sana."

"Kalau kamu suka tidak mungkin mengundurkan diri."

Sial. Orang ini sungguh jeli, ya?

Jisoo terkekeh santai, mencoba tak terlihat terlalu canggung seperti ketahuan mencuri. Lantas dia menyampingkan rambut ke sisi telinga dan menjawab, "Kebetulan saya fokus skripsi kemarin, agak hectic juga. Setelah ini pun saya mau ambil magister ke luar."

Taeyong terlihat mengangkat alis, seolah ragu, seolah tak percaya, tapi akhirnya pria itu mengangguk saja. "Semangat."

Oh?

Jisoo mencoba tak cengo mendengar tuturan suportif itu. Kendati agak terkejut karena orang galak dan sinis ini berubah baik tiba-tiba, Jisoo menganggukkan kepala dua kali sambil tersenyum. "Makasih. Omong-omong, Pak. Terkait Pak Gani gimana?"

"Ah, Gani, ya?" Suaranya mendadak agak sinis lagi. Seakan sadar kalau Jisoo memperhatikannya, buru-buru Taeyong mengubah ekspresi. Nada suaranya lebih lembut dan tenang. "Kalau mau bicara dengan beliau, pastikan secara berpakaian kamu sudah memenuhi kriterianya."

Jisoo mengernyit. "Kriteria?"

"Pakaian warna merah muda, binder merah muda, sepatu putih, dan rambut digerai. Kalau laki-laki yang mewawancarai, harus memakai warna yang sama juga."

Jisoo melongo.

Jadi itu alasan kenapa banyak wartawan atau reporter mundur di tengah jalan? Kenapa personal sekali?

"Pastikan kamu tidak bicara sebelum beliau menyuruh kamu bicara." Taeyong menoleh malas ke arah kolam, sepertinya sedang memikirkan hal lain. "Kalau sudah memenuhi kriteria itu, kamu bisa mewawancarai sampai selesai, sisa probabilitas keberhasilannya bergantung pada prompt pertanyaan kamu."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Thirdness | jisyongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang