Jemarinya tak berbenti menggulung ujung dupatta-nya. Sorot matanya yang polos menatap dengan gelisah ke arah luar. Ia berada di dalam sebuah palki yang dipikul oleh beberapa prajurit. Bagi anak berusia sepuluh tahun, ini sangat menyeramkan. Ia tak diberitahu apa yang akan ia lakukan, dan apa yang akan terjadi di tempat tujuannya.
Jantungnya berdegup kencang. Ia mencoba untuk tidak memikirkan yang terburuk. Paman Krishna bilang ini untuk yang terbaik. Jadi, ia harus mempercayai itu.
Akhirnya, ia merasakan palki itu direndahkan ke tanah. Penasaran, sang putri kecil menjulurkan kepalanya ke luar untuk mengintip. Di luar sangat ramai, ia merasa gugup.
Hrishita menarik napas panjang sebelum memutuskan untuk keluar. Suara terompet yang diikuti bunyi drum bergema dalam udara, berat dan penuh gema, seperti detak jantung raksasa yang menggetarkan tanah.
Hrishita menundukkan kepalanya ketika paman Dhristadyumna mengulurkan tangannya. Ia menerima uluran tangan itu dan berjalan bersama dengan pamannya. Hrishita merasa semakin gugup. Ia memainkan ujung kain lehenga dengan gelisah.
“Tarik napas, putri,” ujar Paman Dhristadyumna. “Ini akan berjalan dengan lancar.” Hrishita mendongak dan memberikan senyum kecil kepada pamannya.
Mereka terus berjalan hingga keduanya tiba di sebuah taman. Di taman itu, nampak seorang anak lelaki yang duduk di sebuah ayunan yang dihiasi dengan berbagai jenis bunga. Ekspresi anak lelaki itu muram, wajahnya ditekuk, bibirnya mengkerut, matanya menatap tajam ke tanah, kedua tangannya mencengkeram tali ayunan dengan erat.
Di samping anak lelaki itu, seorang pria gagah dengan bahu yang lebar, juga dihiasi mahkota yang megah, berdiri dengan tangan yang dilipat ke belakang. Dari posturnya, pria itu seakan menunggu seseorang.
Pria itu tersenyum ketika Dhristadyumna dan Hrishita semakin dekat. Pria itu pastilah seorang raja.
“Salam, Maharaj.”
“Salam, Pangeran Dhristadyumna.”
Pamannya dan pria itu saling memberikan salam dengan tangan mereka yang masing-masing disatukan. Hrishita merasa bahwa ia juga perlu melakukan hal yang sama.
“Salam, Maharaj.” Suaranya lembut dan ringan, bibirnya menyunggingkan senyum manis, membuat siapapun yang melihatnya merasa hangat. Hrishita, putri kecil Sadewa, membungkukkan badannya untuk menyentuh kaki sang raja.
“Semoga kau diberkati.” Sang raja membalas dengan hangat. “Namaku Lakshan, siapa namamu, anak manis?” Suara dari si pria terdengar dalam dan memiliki nada yang terkesan autoritif, sangat mirip dengan suara ayah Yudhistira, tetapi lebih dalam.
Hrishita melirik Dhristadyumna, yang mengangguk. “Namaku Hrishita.” Ia menjawab setelah mendapatkan konfirmasi dari sang paman.
“Hrishita,” ulang Maharaj Lakshan. “Sungguh nama yang manis.”
Maharaj Lakshan berbalik kepada anak lelaki yang masih duduk dengan ekspresi kesal di ayunan. “Lakshya, putraku, kemarilah.” Maharaj Lakshan memanggil dengan nada yang lembut. Anak lelaki itu mendongak, menatap bolak-balik dari ayahnya dan Hrishita.
Ketika mata mereka bertemu, entah mengapa Hrishita tidak dapat menahan senyumannya. Anak lelaki ini tampak lucu, mungkin setahun lebih tua darinya. Seperti Satanika. Namun, anak lelaki itu tidak mengubris perintah ayahnya dan justru kembali menatap ke bawah.
“Bhumisuta,” panggil Lakshan sekali lagi. “Lakshya.”
“Maharaj, mungkin sebaiknya kita meninggalkan mereka berdua.” Dhristadyumna tiba-tiba berkata. “Mungkin saja, keponakanku tersayang bisa membujuk pangeran mahkota.”

YOU ARE READING
Vidhi Ka Bandhan
Fanfiction! MAHABHARATA FANFIC ! Hrishita adalah putri dari Sadewa dan Draupadi. Ia mewarisi kecantikan yang begitu menawan dari sang ibu dan juga neneknya, Madri. Ia juga mewarisi kecerdasan Sadewa, membuatnya menjadi putri yang ideal bagi semua orang. Kehi...