#05

595 48 11
                                    

Jaemin terbangun dari tidurnya dengan nafas terengah, peluh membanjiri baju kemeja yang ia kenakan.

Lagi-lagi mengalami hal yang serupa, Jaemin memijat keningnya. Ketika melihat ke sekitar, ia mengerut heran mendapati diri berada di ruang kesehatan kantor.

Ingatannya berputar pada kejadian sebelumnya, mencoba mengingat apa penyebab ia berada disini.

Rooftop

Jeno, dan ...

Taring.

Taring?!

Jaemin menutup mulutnya syok. "Kurasa aku sudah gila ... "

Ia sedikit meringis ketika menutup mulutnya sendiri dengan tangan karena merasa perih dan sakit pada bibir. Matanya kembali membulat, segera ia bangun dan mencari cermin untuk melihat pantulan diri.

Bibirnya ... Bibirnya terkoyak, tapi bukan itu saja yang lebih mengejutkan melainkan area lehernya yang penuh dengan bercak merah.

Hell!

Apa saja yang terjadi saat ia tak sadarkan diri?! Kenapa--kenapa banyak ruam-ruam merah dilehernya. Ingin memastikan lebih lanjut, Jaemin melepas kancing baju buru-buru, tapi baru satu kancing terbuka, dokter ruang kesehatan masuk mengejutkannya.

"Jaemin sudah sadar? Ayo duduk dulu," ujar si dokter.

Jaemin tak jadi membuka bajunya, malah mengancingi hingga kancing teratas. Ia menuruti kemauan dokter, duduk di kursi berhadapan dengan si dokter.

"Apa yang kau rasa--"

"Jeno yang membawaku kesini?" Potong Jaemin tak sopan.

Si dokter menghela nafas, ia saling menggenggam tangannya sendiri dan mulai memfokuskan diri duduk berhadapan dengan Jaemin. "Ya, Jeno yang membawamu kesini."

Pikiran Jaemin berkecamuk, bertanya-tanya dengan logika yang tak masuk diakal tentang Jeno. "Siapa Jeno sebenarnya?" Lirihnya tanpa sadar menyuarakan isi hati sambil melamun.

"Nak Jaemin," panggil dokter menyadarkan Jaemin. "Kalau boleh saya memberi saran, sebaiknya nak Jaemin segera pergi dari kota ini."

Kening Jaemin mengerut dengan raut wajah bingung.

"Saya rasa, kamu sudah ditandai sedari awal. Sebelum terlambat, segera pergi dari sini jika ingin menyelamatkan diri."

•••

Chenle menoleh saat pintu utama dibuka dari luar, sosok Jeno masuk kedalam rumah melesat begitu saja tanpa memperdulikan sang adik.

"Tumben lewat pintu," gumam Chenle heran, ia kembali fokus pada piano.

Tiba-tiba aroma asing masuk kedalam indra penciumannya selepas kepergian sang kakak, keningnya menikik tajam, lalu bangkit dan berjalan secepat kilat sampai didepan pintu kamar Jeno.

Beberapa kali dicoba, pintu kamar tidak dapat dibuka. "Buka pintunya?!"

Karena tak kunjung mendapat jawaban, Chenle mengambil ancang-ancang lalu mendobrak pintu kamar Jeno, matanya membulat dengan netra merah menyala tak mendapati siapapun di kamar itu.

Pandangannya menoleh kearah jendela yang terbuka, saat ia berdiri dijendela itu, dapat dilihat sekelebat bayangan berlari cepat bersembunyi di bawah sana.

Mata Chenle memicing curiga pada sosok itu. "Aku merasakan sesuatu yang tak beres terjadi."

.

Pukul 7 malam, terlalu larut jika berada di kantor tapi Jaemin masih ada disana, berjongkok di dinding samping pintu keluar utama menunggu kedatangan seseorang.

Blood [ jaemjen ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang