Bab 2 : Api di Perbatasan

2 1 0
                                    

Perbatasan Hutan Gelap dan Solmira

Lyssara menarik napas dalam-dalam saat ia berdiri di tepi sebuah jurang yang menandai batas antara Hutan Gelap Vyrhall dan padang gurun tandus Solmira. Dari ketinggian ini, ia bisa melihat bukit-bukit berwarna merah yang membentang hingga ke cakrawala. Di kejauhan, langit diwarnai oleh cahaya jingga matahari tenggelam, tetapi suasana di sekitarnya tetap dingin dan menekan.

Di bawahnya, kamp Solmira berdiri seperti luka di lanskap. Ratusan tenda berbaris rapi di sekeliling bendera kerajaan Solmira—sebuah simbol matahari menyala di atas perisai emas. Asap membubung dari api unggun, dan Lyssara bisa melihat para prajurit berjalan-jalan dengan pedang yang tergantung di pinggang mereka.

"Apa yang mereka cari di sini?" gumam Lyssara pelan, suaranya tenggelam oleh gemerisik angin yang melewati dedaunan.

"Hal yang sama dengan yang kau cari," jawab suara bariton dari belakangnya.

Lyssara berbalik cepat, tangannya sudah meraih belati kecil yang terselip di pinggangnya. Namun, sosok pria yang berdiri di depannya tidak menunjukkan ancaman. Ia mengenakan baju kulit yang terlihat lusuh, dengan pedang panjang tergantung di punggungnya. Wajahnya keras, dengan bekas luka melintang di pipi kirinya, tetapi matanya menyiratkan rasa lelah yang mendalam.

"Siapa kau?" tanya Lyssara dengan waspada.

"Nama Kael. Aku hanya seorang pengembara. Sama seperti kau." Ia melangkah mendekat dengan tenang, mengangkat kedua tangannya untuk menunjukkan bahwa ia tidak bersenjata. "Aku melihatmu dari kejauhan dan berpikir kita mungkin bisa saling membantu."

Lyssara memandangnya curiga. "Mengapa aku harus percaya padamu?"

Kael mendesah. "Karena aku punya sesuatu yang kau butuhkan—peta jalur rahasia ke pusat Hutan Gelap. Dan karena aku tidak punya alasan untuk menyerangmu. Kau terlihat lebih berbahaya daripada aku saat ini."

Lyssara memperhatikan pria itu dengan seksama. Ia tahu risiko mempercayai orang asing, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa mencapai tujuannya sendirian. Akhirnya, ia menurunkan belatinya. "Baiklah, Kael. Tapi jika kau mencoba mengkhianatiku, aku tidak akan ragu menusukmu."

Kael tersenyum samar. "Aku akan mengingat itu."

Istana Dainvalle

Elion berdiri di ruang rahasia di bawah istana, di mana peta besar Eldoria terbentang di atas meja kayu yang berat. Lilin-lilin menerangi ruangan itu dengan cahaya lembut, menciptakan bayangan yang menari di dinding batu.

"Solmira telah bergerak menuju Hutan Gelap," lapor salah satu pengintainya, seorang pria muda dengan jubah hitam. "Pasukan mereka besar, tetapi tampaknya mereka mencari sesuatu, bukan untuk berperang."

"Apakah mereka tahu tentang lokasi pecahan artefak?" Elion bertanya, memandangi peta dengan ekspresi serius.

"Kami tidak yakin, Yang Mulia. Tetapi ada desas-desus bahwa mereka memiliki pemandu yang mengetahui jalur tersembunyi ke tempat itu."

Elion mengetuk meja dengan jarinya, berpikir keras. "Aku tidak bisa membiarkan mereka mendapatkan keunggulan. Kirim utusan ke Qelyssia. Katakan pada Ratu Seraphine bahwa aku ingin berbicara tentang aliansi."

Pengintai itu tampak ragu. "Apakah kau yakin, Yang Mulia? Ratu Seraphine dikenal sulit untuk dipercaya."

Elion tersenyum tipis. "Aku tahu. Tetapi aku juga tahu bahwa ia tidak akan membiarkan Solmira memenangkan perlombaan ini. Jika aku bisa membujuknya untuk bekerja sama, kita mungkin bisa mengendalikan situasi ini."

Pengintai itu membungkuk dan meninggalkan ruangan. Elion memandang peta itu lagi, matanya tertuju pada simbol kecil yang mewakili Hutan Gelap.

"Dunia ini sedang berubah," gumamnya pelan. "Dan aku akan memastikan aku berada di puncaknya saat semuanya berakhir."

Pulau Qelyssia

Di ruang tahta yang diterangi oleh sinar bulan, Ratu Seraphine duduk diam di atas kursinya yang terbuat dari kristal putih. Di hadapannya, seorang pria tinggi dengan rambut abu-abu berdiri dengan tangan bersilang.

"Utusan dari Dainvalle telah tiba, Yang Mulia," lapor Kaedric dengan suara rendah. "Pangeran Elion ingin membahas aliansi melawan Solmira."

Seraphine memiringkan kepalanya sedikit, ekspresinya sulit dibaca. "Elion Falthorne. Dia seorang pria yang licik, tetapi cerdas. Apa pendapatmu, Kaedric?"

"Pangeran itu hanya memikirkan dirinya sendiri. Tetapi situasinya menjadi semakin rumit. Jika Solmira mendapatkan kendali atas The Veil, bahkan Qelyssia akan berada dalam bahaya."

Seraphine bangkit dari kursinya, gaun panjangnya berdesir lembut di lantai. Ia berjalan menuju jendela besar yang memperlihatkan laut yang berkilauan di bawah sinar bulan.

"Kita akan mendengar apa yang ingin ia katakan," katanya akhirnya. "Tetapi aku tidak akan membuat keputusan sampai aku tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi di Hutan Gelap."

Kaedric mengangguk. "Aku akan mengatur pertemuan itu."

Saat Kaedric meninggalkan ruangan, Seraphine menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa kekuatan yang ada di balik The Veil jauh lebih besar dan lebih berbahaya daripada yang dipahami oleh orang-orang seperti Elion atau raja-raja Solmira.

"Mereka bermain dengan api," bisiknya. "Dan api itu akan membakar kita semua."

Kedalaman Hutan Gelap

Lyssara dan Kael bergerak dengan hati-hati melalui jalur tersembunyi yang dilindungi oleh pohon-pohon tinggi dan semak-semak lebat. Mereka hampir tidak berbicara, fokus pada perjalanan mereka yang melelahkan.

"Jadi, kenapa kau berada di sini?" tanya Kael akhirnya, memecah keheningan.

Lyssara meliriknya sebentar. "Aku punya urusan yang belum selesai. Dan aku tidak akan berhenti sampai aku menyelesaikannya."

"Urusan seperti apa?"

"Itu bukan urusanmu," balas Lyssara tajam.

Kael mengangkat bahu, tidak tersinggung oleh sikapnya. "Baiklah. Tapi aku akan mengatakan ini—apa pun yang kau cari di sini, pastikan itu sepadan dengan apa yang kau pertaruhkan. Tempat ini punya cara untuk memakan orang hidup-hidup."

Lyssara tidak menjawab. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa Kael benar. Tetapi ia tidak punya pilihan lain.

Saat malam tiba, mereka berkemah di dekat sungai kecil. Kael mempersiapkan api unggun sementara Lyssara duduk di bawah pohon besar, memandang bintang-bintang yang tersembunyi di balik ranting-ranting.

"Kau tahu," kata Kael tiba-tiba, "Aku pernah bertemu seseorang seperti kau dulu. Seseorang yang penuh dengan dendam dan tekad. Ia tidak berhasil."

Lyssara menoleh padanya, ekspresinya dingin. "Aku bukan dia."

Kael tertawa kecil. "Kita lihat saja nanti."

Sebuah Temuan

Di pagi hari, mereka menemukan sesuatu yang aneh. Sebuah monumen batu besar, tertutup oleh lumut dan akar pohon, berdiri di tengah hutan. Di atasnya terukir simbol kuno yang menyerupai lingkaran dengan garis-garis rumit di dalamnya.

"Ini... ini bukan buatan manusia," gumam Lyssara, mendekati monumen itu dengan hati-hati.

Kael mengamati simbol itu dengan dahi berkerut. "Kau tahu apa ini?"

Lyssara mengangguk pelan. "Ini adalah tanda dari The Veil. Aku pernah melihatnya di catatan lama di istana. Tempat ini pasti penting."

Sebelum mereka bisa melanjutkan, suara langkah kaki mendekat. Dari balik pepohonan, sekelompok prajurit Solmira muncul, dipimpin oleh seorang pria bertubuh besar dengan jubah merah.

"Kelihatannya kita tidak sendiri," kata Kael, menarik pedangnya.

Lyssara meraih belatinya, bersiap menghadapi pertempuran. Dalam sekejap, hutan itu berubah menjadi medan perang kecil, dengan bayang-bayang The Veil mengintai di kejauhan.

Di tengah pertempuran itu, sebuah getaran aneh merambat melalui tanah. Simbol di monumen itu mulai bersinar dengan cahaya biru lembut, seolah merespons kehadiran mereka.

Dan untuk pertama kalinya, Lyssara merasakan kekuatan The Veil memanggilnya—sebuah panggilan yang bisa mengubah segalanya.

The Veil Of EldoriaWhere stories live. Discover now