Senandung di tepi batas ~ Biru

17.6K 708 136
                                    

Pulau dengan julukan seribu sungai, hanya memandang dari balik kaca pesawat saja, membuat hatiku bergetar karena rindu. Pulau kelahiranku, pulau dengan warna hijau yang mendominasi dan dialiri beribu sungai.

            Begitu banyak sebutan untuk pulauku ini, dari bahasa yang modern sampai yang kuno, sebenarnya aku cukup suka dengan julukan-julukan itu. Hanya ada satu julukan pulau ini yang membuatku tidak setuju, julukan yang diberikan pada naskah-naskah Jawa kuno, dalam Ramalan Prabu Jayabaya dari masa kerajaan Kadiri. Nusa kencana, pulau yang disebut-sebut menjadi pulau kerajaan Alengka berdiri. Bagaimana bisa, pulau dengan keelokkan alam  dengan aliran-aliran anak sungai, yang membelah hampir seluruh pulau dan hasil bumi yang melimpah bisa disebut sebagai pulau berdirinya kerajaan Alengka? Di luar benar dan salahku julukan ini, di dalam hati aku selalu menganggap pulauku adalah pulau terbaik.

            Walau sayang seribu sayang, kami para putra-putri yang terlahir di pulauku, jarang sekali melihat dan merasakan kekayaan alam itu, kami anak-anak yang terlahir di perbatasan paling ujung pulau ini, bagai anak tiri ibu pertiwi.

            Indonesia, hanya pulau Jawa.

            Begitulah pemahaman yang kudapat sejak aku kecil, semua pembangunan seolah hanya terarah pada pulau itu. Apa sih hebatnya pulau itu? bukankah pulauku lebih elok di banding pulau itu? bahkan kekayaan bumi kami terus digerus, berbondong-bondong dibawa untuk kemajuan pulau itu. Lalu apa yang tersisah untuk pulauku yang terus digerus?

Sampai sebesar ini, pertanyaan itu kadang masih suka menggangguku

            Pertanyaan yang mungkin tak akan diajukan anak-anak yang terlahir di pulau Jawa, tapi selalu menjadi pertanyaan bagi anak-anak yang terlahir di pulauku.

Pada masaku, hanya sedikit yang tahu warna dan bentuk Bendera Indonesia. Saat anak-anak di pulau lain pada hari Senin mengibarkan bendera, dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Aku dan teman-temanku lebih sering dihukum membersihkan ruang kelas sempit kami karena telat masuk kelas. Hukuman Isnin, begitulah kami menyebut hukuman yang ada hanya pada hari Senin, walau kami terlambat nyaris sepanjang minggu.

            Sejak kecil aku lebih mengenal Ringgit, ketimbang Rupiah. Jadi jangan salahkan aku, saat masih kecil aku langsung merobek-robek Rupiah yang diberikan orang kota sebagai pembayaran daganganku. Aku tahu kalau mata uang negeriku disebut Rupiah. Tapi mana aku tahu bentuk Rupiah itu dulu? nyaris seluruh kampung hanya menggunakan Ringgit sebagai alat pembayaran.

            Sebesar apapun nominal rupiah, nyaris tak berguna untuk kami, kami lebih memilih berbelanja ke Malaysia, ketimbang jauh-jauh melewati jalur darat dan sungai yang panjang hanya untuk ke pasar-pasar terdekat di negeriku, yang selain jauh, hampir semua barang-barangnya relatif lebih mahal ketimbang harga barang-barang di Malaysia.

            Jadi, jangan salahkan banyak dari kami yang memilih menjadi warga negara Malaysia ketimbang Indonesia, bagi kami, semua itu lebih menguntungkan.

            Aku pribadi tidak pernah menyalahkan atau bahkan membenci mereka yang lebih memilih menjadi warganegara Malaysia. Sejak aku berumur sepuluh tahun, ayahku menjadi warga negara Malaysia dan berdagang di sana, membawa serta kakak-kakak perempuanku. Hanya aku dan ibu yang masih mempertahankan kewarganegaraan kami dan tinggal di negara kami. Bagi ibuku yang keturunan Melayu-Banjar, amanat ayahnya untuk menjaga jati diri sebagai bangsa Indonesia adalah wasiat mutlak -yang tak bisa diganggu gugat- walau itu menyebabkan dia harus berpisah dengan suami dan anak-anaknya.

            Dan aku, sebagai anak laki-laki satu-satunya, terlalu mencintai ibuku untuk mengecewakannya. Dia adalah wanita teguh. kata-katanya adalah titah mutlak dalam hidupku. Cinta pada ibuku itu jua yang membuatku pulang setelah lima belas tahun tak menginjakan kaki di pulau kelahiranku ini.

Senandung di tepi batasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang