Saat seseorang mengatakan, bahwa jiwa, tak selalu harus berada di tubuh pemiliknya, bahwa jiwa, hanya ada di mana pemiliknya merasakan bahagia. Saat itu, aku merasa bahwa kata-kata orang itu begitu benar.
Benar, karena jiwaku tidak pernah mengisi tubuhku lagi. Jiwaku tertinggal di pulau itu, pulau dengan beragam julukan, yang mampu membuatku merasakan cinta di tengah keterbatasan dan perbedaan. Di sebuah desa yang keramahan penduduknya membuatku merasakan mereka adalah bagian dari keluarga besarku.
Aku begitu mencintai tawa polos anak-anak yang pemikirannya begitu sederhana, dan apa adanya. Mereka tak sibuk berpikir akan diterima di sekolah terbaik mana, dengan siapa dan menjadi apa. Hati mereka murni, tidak terkotori dengan ambisi orang tua, yang terkadang tanpa sadar menanamkan harus menjadi apa anak-anak mereka nanti.
Aku mengagumi kesahajaan mereka. Di tengah semua keterbatasan dan seolah bagai anak tiri negeri mereka. Masih memiliki rasa bangga dan harapan akan masa depan yang lebih baik.
Aku telah begitu jatuh cinta, pada seseorang pemuda yang mengajariku tentang semua hal itu. Dia, yang kutinggalkan di mana jiwaku telah tertinggal.
... ... ...
"Maafkan aku, aku tidak menikah dengan kamu Fin."
Pandangan kagetku tertuju lurus pada Haikal –tunanganku- yang kini tengah menatapku dengan pandangan gelisah dan penuh penyesalan.
"Kamu, adalah gadis yang luar biasa, Fina. Tapi .... jiwaku tidak tertuju padamu. Maafkan aku." Haikal tertunduk menyesal.
Setelah semua perang batin, dan kehampaan luar biasa yang kulewati agar bisa datang ke tempat ini untuk bertemu dengannya. Alih-alih marah pada Haikal, aku malah tersenyum padanya. Aneh bukan? Entahlah, mungkin sikap Biru sudah berhasil sedikit mengubahku. "Siapa pemilikinya? Pemilik jiwa ini?"
Haikal terperangah mendengar pertanyaanku. Dokter muda berprestasi itu menatapku, seolah aku sudah tidak waras karena menanyakan itu dengan nada yang begitu santai. "Dia ... tidak sepertimu. Kamu memiliki semuanya Fin. Dia hanya gadis dari keluarga kurang mampu, yang memilki pemikiran yang begitu sederhana. Kamu jelas lebih cantik secara fisik darinya, tapi dia memilki semangat dan kegigihan yang membuatnya terlihat begitu mengaggumkan. Dan aku ... aku begitu mencintainya."
Aku ingin tertawa kencang saat mendengar penjelasannya. Bagaimana mungkin Haikal bisa mengatakan aku lebih baik darinya, saat matanya berbinar penuh cinta pada gadis yang sedang dibicarakannya itu? aku jelas kalah bukan?
Dan yang begitu konyolnya. Mengapa nasibnya sama denganku? Seperti nggak ada sekenario lain saja. "Aku jelas-jelas kalah dari dia kan?" aku tertawa santai, membuat Haikal kalang-kabut karena salah mengartikan kata-kataku.
"Tidak! Tidak! Aku tidak mengatakan ..." sekuat tenaga dia menyangkal, tangannya menggaruk kepala dengan gelisah, dengan gugup dia meneguk habis air putih di depanya, "kamu jelas lebih baik dari dia Fin... aku, aku hanya... tidak bisa." Dia tertunduk, "maafkan aku."
Aku tersenyum mendapati sikapnya ini. "Jangan salah paham Kal, aku sama sekali tidak marah. Karena kita ada di posisi yang sama." Haikal menatapku penasaran. Dengan sengaja aku tersenyum penuh makna.
"Fina ... kamu ... kamu juga? Kamu juga jatuh cinta?"
Aku tahu Haikal tidak bodoh. Dan aku yakin saat aku hanya tersenyum menjawabnya, dia pasti mengerti maksudku.
... ... ...
"Seorang dokter spesialis jantung?" aku mengalihkan pandanganku dari buku yang sedang kubaca di ruang tengah. Sejak Ka Rafa menikah, rumahku sontak menjadi lebih sepih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung di tepi batas
RomanceBiru : Setelah bertahun-tahun 'dibuang' oleh ibuku ke pulau orang. Tiba-tiba, Kanjeng ibuku menyuruhku pulang, membuatku berbunga-bunga bukan kepalang, hingga aku tahu alasan aku dipanggil pulang... Sungguh! bunga-bunga di hatiku, layu berganti den...