Senandung di tepi batas ~ Fina

7.6K 518 31
                                    

Saat iringan gumpalan awan  kebiruan perlahan menghilang, menyisahkan kerinduan dan desiran hangat yang membuatku tersenyum lebar, dari balik kaca pesawat. Aku yakin mataku tersihir dengan hamparan coklat dan hijau yang terbentang luas, serta garis-garis berliku yang membelah daratan hijau.

            Inikah tanah kelahirannya?

            Memikirkannya membuat tubuhku diselubungi kehangatan yang aneh. Mungkin aku telah jatuh cinta pada daratan ini.

... ... ...

Pertemuan pertamaku dengannya, membuatku teringat pada masa kecilku, masa di mana aku memandang gumpalan awan tanpa beban, berhayal sejauh langit bisa membawa mimpiku.

 Biru, dia menyeringai lebar, usai memberitahukan namanya sambil mengulurkan tangan yang penuh lumpur karena sedang berkebun. Dia memiliki sorot mata kekanakkan, dipadu rambut ikal yang dibiarkan panjang terikat ke belakang, perpaduan yang sangat kontras dengan tubuh  penuh otot dan kekar yang didapatnya dari berkebun.

            Pak kepala desa memperkenalkannya sebagai salah seorang pemuda kebanggan kampung mereka. Mengatakan andai dia punya anak gadis, pasti sudah jauh-jauh hari memaksa Biru menjadi menantu. Hal yang jelas membuatku tersenyum-senyum, karena setelah pertemuanku dengan Biru, Pak Saman begitu gencar mempromosikan Biru padaku.

Awalnya itu membuatku risih, bukan karena aku keberatan dijodoh-jodohkan dengan anak kampung. Biru jelas bukan anak kampung biasa, dia memiliki wawasan yang terlampau luas sebagai seorang anak kampung biasa. Dibalik sikap cuek dan sederhana, tersimpan sikap seorang pemimpin yang selalu merencanakan semua dengan matang.  Biru memiliki kharisma yang begitu misterius, membuat orang di sekitarnya seolah tersihir untuk memperhatikan dan mematuhinya.

            Hal ini lah yang membuatku risih, pembawaan diri Biru begitu natural, bersama Biru, membuatku lupa, bahwa aku adalah seorang Fina yang pendiam, kaku, dan susah membaur.

Biru, menarik semua sikap yang selama ini tertidur dalam diriku, dia dapat dengan mudah membuatku marah dan kesal, tapi juga dengan mudahnya membuatku langsung melongo kagum dengan caranya menyampaikan sesuatu, atau dengan mudah membuatku tertawa lepas setelah membuatku menangis kencang.

            Biru, jelas berbeda dengan laki-laki yang selama ini sering aku temui.

... ... ...

"Jawa mana?" tandasku kesal mendengar jawaban Biru yang terlampau singkat, setelah perdebatan panjang kami tentang penggunaan uang ringgit di sini.

            Ya, percaya atau tidak, di sini! Di desa yang masih tercatat sebagai bagian Indonesia, malah menggunakan ringgit untuk setiap transaksi pembayaran. Seharusnya sih aku mulai terbiasa dengan keadaan ini, toh aku memang meneliti perilaku dan pisikologis masyarakat Indonesia yang ada di perbatasan. Secara teori tentunya aku sudah tahu bagaimana kondisi mereka di sini.

            Tapi, entah mengapa, aku selalu kesal jika Biru mulai menceramahiku macam-macam. Seolah aku mahluk dari pelanet lain yang sok-sok ingin menyelamatkan warganya. Dan yang membuatku makin kesal pada diri sendiri, adalah rasa penasaran aneh yang selalu kualami saat berbicara dengan Biru. Aku penasaran setengah mati. Siapa sih Biru itu sebenarnya?

            "Jangan mengagetkanku!" aku tersentak kaget, ketika wajahnya tiba-tiba berada di depanku, refleks aku memundurkan tubuh dan memegang dada. Membuatnya tersenyum tipis.

            Biru memajukan wajahnya ke wajahku, mempertipis jarak di antara kami. "Kamu tertarik padaku?"

            Apa?! Aku terperangah kaget, merasakan pipiku menghangat. "Ap, apa maksudmu?!"

Senandung di tepi batasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang