Masa Lalu 4 - Ambaragni

19 10 11
                                    

“Tentu saja kau betah di sini. Kau seorang putri yang kelak menjadi ratu. Kau tidak perlu bersusah payah, semua orang akan melakukan apa pun untukmu,” keluh Tarak saat memanjat pohon kelapa tinggi di pekarangan rumahku.

Cuaca siang itu benar-benar terik dan persediaan kelapa muda di bawah sudah habis. Jangan salah, sebenarnya aku bisa memanjat sendiri untuk mengambilnya, kalau pengawalku tidak malu.

“Segalanya serbaenak di sini, kan, Jeff? Akui saja itu,” seruku ke atas.

“Awas tertimpa!” serunya balik, seiring meluncurnya beberapa buah kelapa dari ketinggian. Aku mengelak ke sana dan sini, sementara buah-buah itu jatuh berdebum di tanah berpasir. Gempa kecil terasa di telapak kakiku.

“Kita punya pandangan berbeda tentang apa yang disebut enak dan tidak enak, Brie. Bagiku, enak itu misalnya tidak perlu mandi tapi tubuh kita bersih sendiri.” Sambil memeluk batang kelapa dengan longgar, Tarak meluncur turun. Namun, di pertengahan jalan, cengkeramannya terlepas dan ia jatuh dengan posisi terlentang di tanah.

“Tarak, kau tidak apa-apa?” Aku buru-buru menghampirinya.

“Oh, déjà vu,” erangnya pelan. “Aku boleh memutar mundur waktu, kan?”

“Kalau untuk dirimu sendiri tak masalah.”

Dia terdiam sejenak, dan aku membiarkannya. Aku memungut satu per satu kelapa muda ke kolong rumahku, tempat keluargaku menyimpan parang dan benda-benda tajam untuk mengolah bahan makanan. Aku pandai membuka kelapa muda. Salah satu pamanku memastikan aku mampu melakukannya sendiri, meskipun seharusnya ini dikerjakan pengawalku. Hanya saja, karena tubuh pengawalku sedang patah-mematah, berikan dia waktu untuk menyembuhkan diri.

“Ah, tampaknya ada yang segar-segar di sini.”

Sepupuku, Ancala, menghampiriku di kolong rumah dan mengambil salah satu kelapa yang sudah kubuka. Dia sebaya dengan Tarak, bahkan mendapat guru militer yang lebih baik karena posisi kekerabatannya yang lebih dekat dengan ayahku ketimbang Tarak. 

“Kau lebih cocok dengan tugas ini, Agni,” tambah Ancala setelah menandaskan air kelapa. “Daripada menjadi datu selanjutnya.”

Saat ini, tradisi di kerajaanku menghendaki yang menjadi pemimpin adalah laki-laki, sehingga di urutan ahli waris, Ancala lebih unggul dariku. Meskipun demikian, ayahku sedang melobi dewan kedatuan agar lebih mengutamakan anak-anak datu sendiri sebagai penerus takhta, tak peduli ia laki-laki atau perempuan. Sekalipun lobinya berhasil dan aku naik takhta setelah ayahku mangkat, posisi Ancala masih tetap untung, karena dia akan diangkat sebagai kepala desa lain, atau panglima. Jika yang terakhir yang terjadi, Tarak yang cuma anak panglima itu mungkin tidak punya kesempatan.

Wajah mencemooh Ancala membuatku naik darah seketika itu juga.

“Enyah kau, itu untuk Tarak,” sergahku. Tarak membutuhkannya karena tenaganya pasti terkuras setelah menyembuhkan diri.

“Kau terlalu dekat dengan anak itu, bukan?” Ancala menyipit padaku. “Tahu tidak, kau akan dijodohkan dengan pangeran bergigi tonggos dari Dharmasraya?”

“Bukan kau yang akan mengatur-atur urusan pernikahanku,” suaraku mengeras. “Lagi pula, usiaku baru sepuluh tahun.”

“Ibu-ibu kita menikah pada usia sepuluh tahun.”

Aku mengacungkan parang di tanganku. “Berhenti bicara sekarang.”

Dasar, Ancala itu suka mengejek tapi pengecut. Melihat parang dihunuskan begini saja ia langsung terbirit-birit memanjat rumah, mungkin mengadu pada orangtua dan neneknya, yang kebetulan juga nenekku.

“Ada apa lagi dengannya?” Tarak menghampiriku dan memilih di antara tiga buah kelapa yang sudah kubuka. Dia memilih buah yang tampak paling kecil.

Aku memutar bola mata. “Kau tahu ada apa dengannya.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hingga Hilang Pedih PeriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang