Sukma.
Aku tahu kalau tidak ada banyak orang yang mencintaiku di dunia ini, di kehidupanku yang sekarang ini. Hanya ada sedikit orang yang bisa memahamiku, and I make an effort to take care of them.
Tapi, menjaga bukan berarti bisa mempertahankan mereka untuk tetap berada di sisiku.
And in the end I was left all alone.
"Saya sudah urus semua urusan pemakaman sesuai dengan instruksi Putri Sukma."
Senyumku terulas tipis, "Terima kasih banyak," kataku dengan rasa janggal yang menyumbat tenggorokanku.
Rasanya duniaku berhenti berputar, anehnya rasa sakit yang aku rasakan masih tetap bisa aku rasakan. Mereka mencoba menggerogoti pertahananku, kuat, dan tegarku.
Apa mereka tahu, tanpa mereka muncul pun—aku sebenarnya sudah tidak berdaya?
"Sukma..." Dan sepasang mata sembab itu menatapku.
"Hai," sapaku, membuka kedua tangan—menerima pelukan dan tangisannya. "Terima kasih sudah datang."
Tangisnya semakin kencang keluar, seakan sakit itu—sakit yang tidak bisa benar-benar aku tunjukkan—memeluk tubuhnya—membuatnya merasakan sakitku yang luar biasa sekarang.
"Sukma..." Hanya panggilan itu yang keluar dari bibirnya di sela tangisan kerasnya yang memecah keheningan ruang tengah kediaman keluargaku.
Salah satu tanganku bergerak mengusap punggungnya yang bergetar, menepuk sakitku di sana dan mengatakan kalau dia akan menghilang dan pergi seperti yang sebelum-sebelumnya—dalam artian lain, kami akan baik-baik saja kedepannya.
Mataku terpejam, menolak menatap mata orang-orang yang menyorot kasihan ke arahku. "Gue baik-baik aja, Pih..."
Upih melepaskan pelukanku, dia menatapku lewat kedua matanya yang memerah sambil menggelengkan kepala. "Ada gue sama yang lain di sini, Sukma. Nggak pa-pa," ucapnya tidak terdengar jelas karena tertelan isakan.
Ya, aku memang punya mereka semua.
Tapi, bolehkah aku bilang kalau aku bukan cuma ingin mereka yang ada di sini untuk menemaniku sekarang?
Aku mengangguk, "Thanks, ya." Aku kembali memeluk Upih, berusaha menyembunyikan keegoisanku yang sempat muncul sebentar tadi.
Setelah menyapa tamu-tamu lain yang datang, pandanganku kembali terarah ke dua peti mati yang berjajar di ruang tengah rumah keluargaku.
Biasanya rumah ramai karena kami, namun ramai yang sekarang terasa asing. Bukan cuma karena wajah-wajah yang tidak aku kenal memenuhi ruang tengah di saat biasanya hanya ada kami di sini, tapi juga karena isak tangis yang terdengar mengganggu di telingaku—tangis yang tidak seharusnya keluar dari orang-orang yang bahkan tidak pernah peduli dengan kedua orang yang sudah kaku di dalam sana.
Palsu.
Semuanya kelihatan palsu.
Raut sedih yang mereka pasang.
Semuanya kedengaran palsu.
Air mata mereka. Suara tangis mereka. Kalimat penenang yang berusaha mereka sampaikan.
"Mau ke sana?"
Kepalaku menoleh pelan, "Tolong, ya." Aku mengangguk, menerima uluran tangan Suta yang sigap membantuku lebih cepat daripada pengawal kerajaan yang sejak tadi berjaga di sekitaranku.
Suta menggandengku, menungguku langkah pelanku dengan sabar sampai aku duduk di tengah-tengah peti Mami dan Ayah.
Pandanganku jatuh ke arah Adira, Adit, dan Nugraha yang menangis meraung—bergantian menatap jenazah Mami dan Ayah.