Mas Harjuna.
Semua orang yang mengenalku tahu kalau tidak ada orang lain yang pantas mendapatkan julukan 'orang gila' selain aku.
Bukan... Aku sama sekali tidak membanggakan hal tidak pantas semacam itu.
Aku tahu kalau aku banyak melakukan kegilaan yang membuat orang lain geleng-geleng kepala, dan aku yakin kalau tidak ada orang lain yang bisa melewati batas yang sudah aku buat sebelum aku duduk di sini, di depan beberapa petinggi Dewan Kerajaan yang mendadak menghubungiku dan menyuruhku untuk datang ke Gedung Kebesaran tepat setelah aku mendapatkan berita tentang berpulangnya orang tua Sukma Sari.
"Kita harus memikirkan semuanya dengan matang..."
"Betul." Aku muak... "Setelah kepergian orang tua Putri Sukma, kita harus memastikan kalau Putri Sukma memegang penuh kendali seluruh bisnis keluarganya. Kita semua tahu kalau Putri Sukma memiliki 3 adik, dan hal ini ditakutkan akan—"
Aku gila, tapi setidaknya bukan orang tolol seperti mereka.
Di saat orang tua Sukma Sari bahkan belum dimakamkan, mereka sudah membicarakan soal warisan?
"Bagaimana Mas Harjuna?"
Dan mereka menanyaiku sekarang?
Aku menunjuk diriku sendiri, membuat mereka mengangguk di waktu bersamaan. "Orang tua istri saya baru saja meninggal karena kecelakaan dan kalian menanyakan hal semacam itu ke saya?" tanyaku, tidak menyembunyikan nada sarkas ke mereka yang sekarang sama-sama menundukkan kepala.
"Tapi, ini penting untuk posisi anda—"
"Kamu siapa mengajari saya?" Tanganku mengepal erat setelah menggebrak keras meja yang ada di hadapanku. "Saya memang butuh kalian untuk mendukung saya, tapi tidak dengan menyetir dan mengendalikan saya seperti ini." Aku menghela napas panjang, melemparkan tatapan tajam ke pria-pria yang duduk di hadapanku sekarang. "Saya tahu kalau kejadian ini akan mempengaruhi keadaan di dalam Kerajaan Seroja, tapi itu menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya.
"Kalau saya belum mengatakan apa-apa, tidak ada yang boleh mendahului keputusan saya." Setelah mengatakan itu, aku memutuskan untuk berdiri dari kursiku dan berjalan keluar dari ruang rapat.
Jala menjadi orang pertama yang aku lihat setelah aku membuka pintu rapat, ia menundukkan kepala—menyapaku singkat. "Apa kita berangkat ke Jakarta sekarang, Mas Harjuna? Putri Elok sudah sampai di kediamannya—"
"Tidak bisa." Aku menjawab cepat. "Tidak sekarang," lanjutku sambil mengambil langkah cepat.
"Baik, Mas Harjuna," jawab Jala, menurut.
Tidak seperti biasanya Jala menurut, karena biasanya ia selalu punya seribu cara untuk menentang dan menantangku.
Aku melangkah cepat, mengabaikan sepenuhnya orang-orang yang menyapaku ketika aku melangkah melewati lorong di Gedung Kebesaran.
"Siapa?" Handphone yang sengaja aku titipkan ke Jala berdering nyaring. Jala tidak menjawab, dia hanya menunjukkan layar handphone ke arahku dengan nama Melinda di sana. "Sini," kataku mengambil handphoneku dari tangan Jala. "Ya? Saya minta kamu untuk bantu Putri Sukma. Semuanya. Ya. Handle dulu untuk sementara ini."
Melinda merupakan seseorang yang aku percaya untuk menjaga Sukma Sari setelah kami berdua memutuskan untuk menikah. Bisa dibilang, Melinda ini private secretary Sukma dan dia juga yang menemani Sukma Sari setelah wanita itu mendapat kabar kalau orang tuanya meninggal.
Karena dia orang kepercayaanku dan dia juga yang menemani Sukma Sari ke mana-mana, aku cuma punya Melinda yang bisa aku percaya untuk mengurus dan menjaga Sukma Sari di sana—selama aku belum bisa menemui Sukma Sari di Jakarta.