Ayahku mengomel sepanjang pagi. Ibuku juga sama ricuhnya, tetapi sedikit lebih dapat mengontrol diri. Satpam dan beberapa tetangga berkumpul di depan rumahku. Peristiwa semalam telah menimbulkan sensasi dan aku berakhir menjadi korban interogasi.
"Zarra, benar kamu tidak mengingat muka si pencuri? Bagaimana ciri-cirinya?" tanya ayahku.
"Tidak, Yah. Aku hanya tahu mereka berdua berbaju hitam, berambut pirang dan abu-abu, lalu begitu aku memergoki mereka, mereka langsung kabur lewat jendela ruang buku," jelasku untuk yang kesekian kali.
"Rambut dicat pirang dan abu-abu? Pasti preman begundal yang sering ada di pinggir jalan! Mereka tidak mencuri barang apa pun?"
"Sepertinya begitu. Mereka kabur sebelum berhasil mencuri apa pun," ungkapku.
Ayah menyelidik lagi. "Betul tidak ada satupun yang dibawa?"
"Betul! Bukannya harusnya ayah lebih khawatir dengan keselamatanku?" Aku memasang tampang cemberut. Ayahku tampak merasa sedikit bersalah.
"Ya, ya, untung kamu selamat. Sialan pencuri-pencuri itu, beraninya mereka memecahkan jendela! Sekarang yang penting Ayah harus protes terhadap sistem keamanan di komplek ini dulu!"
Ayah mendengus kesal dan menghampiri satpam komplek yang tengah memberi penjelasan kepada tetangga-tetangga yang penasaran. Aku mengambil napas lega. Sejauh ini tidak terlalu bermasalah. Aku memberitahu orang-orang yang menanyaiku bahwa semalam ada pencuri yang berusaha memasuki rumahku, tetapi aku tidak menceritakan detilnya: tentang bagaimana salah satu penyusup itu berusaha membunuh yang lain.... Aku ingin sekali memberitahu mereka, tetapi tidak ada bukti. Bercak darah dari lelaki berambut kelabu tidak tertinggal setetes pun.
Aku memperhatikan bekas jendela yang hancur di ruang buku. Jendela berukuran kira-kira satu setengah kali dua meter persegi itu nyaris tidak menyisakan kaca pada pinggir bingkainya. Keping-keping kaca berserakan di lantai. Aku menduga, sampai bisa menghancurkan jendela sedemikian rupa, si laki-laki berambut kelabu pasti didorong dengan sangat keras dari luar balkon ke arah jendela. Apa laki-laki bermasker itu yang melakukannya? Mengapa dia menyerang si laki-laki satunya? Terlebih lagi, apa yang sedang kedua penyusup itu lakukan di balkon rumahku?!
Sepanjang sisa hari Minggu, setelah keluargaku mulai tenang, aku membantu Ayah menambal jendela ruang buku dengan papan kayu karena tukang reparasi jendela baru akan datang besok. Sebelumnya, semua pecahan kaca telah disapu bersih. Aku sendiri yang menyapunya, sekalian bermodus membuktikan spekulasiku. Benar saja, pada beberapa pecahan kaca terdapat sedikit bekas darah yang tidak terlalu kentara bila tidak sungguh-sungguh diperhatikan. Aku sempat berpikir untuk memberitahu keluargaku mengenai hal ini, tetapi kuurungkan niat tersebut; berasumsi bahwa detail tentang kronologi yang sebenarnya malah akan menambah keresahan mereka. Lagi pula, para penyusup itu tidak mungkin akan datang lagi.
Aku sedang memalu paku terakhir di papan kayu ketika ibu memanggilku. Katanya, ada yang mencariku di luar rumah. Aku sempat berdebar-debar, mengira bahwa salah satu penyusup itu datang menemuiku dan mengancamku untuk bungkam. Begitu ibuku memberitahu bahwa yang mencariku adalah rombongan anak-anak, aku langsung membuang napas lega sekaligus heran.
Eh, tapi anak-anak siapa yang mencariku?
Aku pun turun menuju pintu depan. Menunggu di teras, aku melihat si bocah laki-laki yang kuberi permen kemarin. Dia tidak datang sendiri, di belakangnya ada lima orang anak-anak lain.
Ketika aku muncul di depan pintu, mereka kompak berteriak, "Kakak, minta permen!"
Aku memasang tampang bingung sekaligus kaget. Salah satu teman si bocah laki-laki bertanya, "Udin, ini Kakak yang kasih kamu permen, bukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tujuh Kelana (Novel - Tamat) [Wattys Award Winner]
Fantasy[Pemenang Wattys Award 2016 Kategori Cerita Sosial] (Sudah terbit dan tersedia di toko buku sehingga konten cerita di sini sudah dihapus) Marvelous cover by: @alicehaibara Satu pusaka. Dua jiwa. Tujuh fragmen kunci. Sembilan klan kesatria. Semua be...