Seungkwan menyampirkan tasnya di pundak, memakai lanyard miliknya lalu keluar dari kamar. Dirinya membeku kala mendapati pemandangan Hansol di dapur lantai satu. Pemuda tampan itu dengan lihai memanggang roti.
Ah, benar. Sekarang kan dia tinggal berdua dengan Hansol. Entah kenapa rasanya aneh. Seungkwan juga bingung dengan dirinya sendiri. Padahal ini bukan kali pertamanya melihat Hansol memasak di dapur. Ini bukan kali pertamanya melihat Hansol satu rumah dengannya.
Tapi fakta bahwa ia hanya tinggal berdua dengan Hansol cukup mengganggunya. Membuat dirinya merasa aneh.
Tak ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi, Seungkwan melangkahkan kakinya turun menuju dapur. Langkah kaki santai tapi mampu menarik atensi pemuda yang sedang memasak. "Ah, Seungkwan." Hansol meletakkan roti panggang pada dua piring yang dapat Seungkwan simpulkan itu adalah miliknya dan Hansol. Hansol meletakkan masing masing dua buah di tiap piring.
"Lo bangun jam berapa?" Tak heran Seungkwan bertanya begitu. Dirinya saja yang bangun jam lima pagi baru selesai bersiap sekarang. Bagaimana dengan Hansol? Ia bahkan tak tau jam berapa pelayannya itu berkutat di dapur dengan penampilan yang menunjukkan dirinya sudah siap ke kampus.
"Pagi, pokoknya. Coffee or milk?" Seakan tau Seungkwan akan mempermasalahkan jika Hansol bangun terlalu pagi, pemuda yang ditanya hanya menjawab demikian. Ia justru balik bertanya minuman apa yang Seungkwan minati pagi ini.
Sama dengan Hansol yang begitu mengetahui taniat Seungkwan, Seungkwan pun sangat tau tabiat Hansol. Dirinya yang mengubah topik itu mengatakan bahwa ia tak ingin membahas lebih lanjut topik sebelumnya. Maka Seungkwan menghela nafas. "Susu dingin aja." Ia menjawab sembari duduk di salah satu kursi, menatap Hansol yang menuju kulkas untuk menuangkan susu coklat ke dua gelas.
Tak butuh waktu lama bagi Hansol untuk menghidangkan sarapan lengkap dengan minumannya di hadapan Seungkwan. Dua buah roti panggang, bacon, dan telur mata sapi. "Makasih." Tak lupa ia menambahkan ujaran terima kasihnya untuk Hansol yang repot-repot masak pagi-pagi. Yang tentu saja Hansol balas dengan ujaran bahwa itu sudah tugasnya.
Ruang makan yang menyatu dengan dapur itu hening, hanya ada suara dentingan akibat pertemuan garpu dan pisau dengan piring. Tak ada yang berbicara di antara keduanya, hanya fokus menikmati hidangan. Sekali lagi, mereka masih canggung.
"Sini, piring sama gelasnya gue cuci." Hansol yang berniat berdiri, dicegah oleh Seungkwan. Piring dan gelas Hansol justru diambil oleh Seungkwan. "Gue aja, lo udah masak." Mendengar itu, Hansol sedikit membelalakkan mata, terkejut.
"Tapi—"
"Tapi apa? Itu kerjaan lo? Kan gue udah bilang lo bukan pelayan gue. Kita bagi adil aja di sini. Kalo lo masak, gue cuci piring. Begitupun sebaliknya."Hansol terdiam, menatap majikannya yang mencuci piring dan gelas bekas mereka makan. Entah mengapa hatinya terasa hangat. Tapi ia juga sedikit heran, atas mengapa Seungkwan selalu terobsesi untuk hidup biasa-biasa saja. Kalo boleh jujur, jika Hansol menjadi Seungkwan, ia justru akan menikmati indahnya hidup dengan disendoki oleh sendok berlian.
Terkejut dengan pemikirannya sendiri, Hansol buru-buru menggeleng. Ia mengambil tasnya untuk ia pakai, lalu mengambil tas Seungkwan untuk ia bawakan kepada yang punya, agar Seungkwan dapat langsung memakainya begitu ia selesai mencuci piring.
"Mau jalan kaki atau dipanggilkan taksi?" Hansol bertanya tepat setelah Seungkwan mendapatkan kembali tasnya. "Jalan kaki aja." Seungkwan membalas, berjalan menuju teras untuk memakai sepatu.
Hansol pun buru-buru mematikan lampu rumah, lalu ikut keluar dan tak lupa mengunci pintu.
— 🚶🚶♂️—
KAMU SEDANG MEMBACA
Roommate || Verkwan
FanfictionSeungkwan ingin sekali hidup pisah dengan keluarganya. Sebagai bungsu dari salah satu keluarga konglomerat, Seungkwan sudah lelah dimanja seumur hidupnya. Tapi sayangnya, keluarganya bersikeras untuk menentang keinginannya hidup mandiri saat kuliah...