Jangan lupa vote ya teman✨️
..
.
.
Ketika mahasiswa mulai berkemas, Nara masih duduk di tempatnya, merenungi pelajaran hari itu.
Tiba-tiba, sebungkus kue Goodtime tersodor di depannya. Nara mendongak dan melihat Nazriel berdiri dengan senyum tipis.
“Jangan terlalu keras sama diri sendiri, ya. Kita bisa belajar bareng kalau ada yang nggak paham,” ujarnya tulus.
Nara tersenyum dan menerima kue itu. “Terima kasih, Zriel.”
Cekrek!
Suara kamera terdengar jelas. Di depan kelas, Raka berdiri dengan kamera di tangannya, tersenyum lebar.
“Hallo, guys! Jadi, hari ini kami selesai kelas Matematika Teknik!” serunya, mengangkat kameranya tinggi-tinggi, memulai vlog harian.
Nara tersenyum geli. Raka memang selalu begitu—mengabadikan momen-momen sederhana.
“Mbak Nara! Say hi to the camera!” Raka menodongkan kameranya ke arah Nara.
Nara tersenyum, melambai kecil. “Hi, guys!”
“Mas Nazriel! Gaya terbaik dong!” Raka beralih, mengarahkan kameranya ke Nazriel.
“Raka! Raka! Aku mau masuk vlog juga!” Siska muncul sambil berlari kecil dari luar kelas, bergabung dengan antusias.
Nara menggeleng pelan, tersenyum kecil sambil membereskan alat tulisnya.
Nazriel melambai. “Duluan, ya. Gess, aku cabut!” katanya sebelum melangkah keluar.
Saat Nara hendak pergi, suara lain memanggil dari belakang. “Mbak, langsung pulang?”
Nara menoleh. Hilman, mahasiswa dengan kemeja flanel dan celana jeans, berdiri dengan kunci motor menggantung di sabuknya—anak teknik banget.
“Iya,” jawab Nara singkat, tersenyum tipis. “Duluan, ya!”
Hilman mengangguk, dan Nara melangkah keluar kelas, membawa semangat baru untuk menghadapi hari esok.
...
Sore di Bandung semakin padat, kendaraan berdesakan seolah berpacu dengan waktu. Udara hangat berhembus, namun tak banyak membantu mengurangi kepenatan di tengah kemacetan.
Di tengah hiruk pikuk itu, Nara memutuskan mengambil jalan tikus, berharap bisa menghindari kepadatan. Jalan kecil di pinggiran Bandung yang sepi menawarkan ketenangan. Suasana sore di sana terasa berbeda—sunyi, hanya angin yang berbisik di antara pepohonan.
"Ah, ini surga," gumam Nara lega.
Namun, ketenangan itu segera berganti ketegangan. Motornya tiba-tiba mogok di tengah jalan. Mesin mati, tak mau menyala meski tombol starter ditekan berulang kali.
"Kenapa harus sekarang?" Nara bergumam kesal, menyesali keputusannya memilih jalan sepi.
Nara menatap frustrasi ke arah mesin yang enggan bekerja,
Jam menunjukkan pukul 18.04, waktu magrib. Keheningan semakin terasa mencekam, dinding pepohonan di sisi jalan menambah suasana suram. Nara melirik sekeliling, hanya ada beberapa rumah jauh di ujung jalan dengan lampu redup yang mulai menyala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nara's Heartbeat
General FictionNara, anak tengah yang selalu merasa berada di bayang-bayang orang lain, terjebak dalam kehidupan yang bukan miliknya. Impiannya untuk menjadi desainer terhempas oleh tuntutan keluarga, memaksanya menekuni jurusan teknik yang jauh dari kata nyaman. ...